ERA pajak kekayaan di Indonesia yang berlangsung sejak zaman Hindia Belanda sudah berakhir dengan reformasi pajak 1983. Sejak itu, rezim pajak Indonesia tidak lagi mengenal pajak kekayaan atau bisa disebut sebagai pajak harta, yakni tambahan kemampuan ekonomis berupa kekayaan.
Memang, ada jenis pajak kekayaan yang masih dipertahankan, seperti pajak kendaraan bermotor yang kini menjadi kewenangan pemerintah daerah. Namun, dengan sudah adanya pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan seterusnya, rasanya penerapan pajak kekayaan masih akan dibatasi.
Program amnesti pajak misalnya, tidak menyebutkan harta sebagai objek pajaknya, tetapi kewajiban pajak yang belum diselesaikan, yang terepresentasi dalam harta yang belum dilaporkan di SPT. Pajak warisan yang baru-baru ini diusulkan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi juga tidak ada kabarnya.
Meski tidak ada lagi pajak harta, bagi Anda yang hendak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Orang Pribadi tetap wajib mengisi satu kolom ini, yaitu kolom Harta. Di kolom inilah wajib pajak mengisi daftar harta yang dimilikinya. Jenis harta ini sangat beragam, mulai dari uang, tanah, sepeda motor, dan seterusnya.
Tenang, harta yang Anda laporkan ini tidak akan dipajaki. Mungkin sebagian dari harta itu sudah Anda bayar pajaknya, atau memang harta tersebut tidak kena pajak. Ditjen Pajak (DJP) perlu punya laporan harta ini sebagai informasi yang berkaitan dengan perpajakan sekaligus pembanding penghasilan Anda.
Kolom harta di SPT membagi jenis harta ini ke 6 bagian, yaitu kas dan setara kas, piutang, investasi, alat transportasi, harga bergerak lain dan harta tidak bergerak. Dari 6 jenis harta tersebut, ada 31 kode harta yang bisa Anda isi apabila memiliki harta tersebut. Berikut kode harta di SPT:
Setelah memahami kode harta tersebut, mulailah Anda mengisi perincian untuk setiap harta yang Anda laporkan secara menyeluruh dan benar. Pilih kode harta sesuai dengan jenis harta. Kemudian isikan nama harta dan tahun perolehan.
Pada kolom Harga Perolehan, cantumkan harga saat perolehan harta. Ingat, harga harta pada saat Anda memperolehnya. Setelah itu, isi deskripsi lebih lanjut perihal harta Anda di kolom keterangan. Ulangi tahapan pengisian tersebut untuk harta Anda lainnya.
Harga Perolehan
SAAT mengisi perincian harta, kolom Harga Perolehan mungkin menjadi hal yang patut diperhatikan. Pasalnya, wajib pajak terkadang melakukan kesalahan ketika mengisi kolom tersebut. Hati-hati, perlu sedikit jeli mengisi kolom Harga Perolehan ini.
Harga Perolehan adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperoleh harta tersebut. Dalam perjalanannya, harta dalam bentuk aset keuangan dan investasi bisa mengalami kenaikan atau penurunan, atau yang umum disebut dengan Harga Pasar.
Umumnya, harga pasar inilah yang kerap dicatatkan wajib pajak saat melaporkan SPT. Hal ini juga berlaku untuk harta lain seperti tanah dan bangunan. Wajib pajak acap mengisi harga terkini di kolom Harga Perolehan. Lantas, apa konsekuensinya jika wajib pajak keliru mengisi kolom Harga Perolehan?
Katakanlah, Anda mencatat pembelian tanah dengan harga perolehan Rp100 juta pada 2018. Namun pada akhir 2019, harga tanah itu melonjak menjadi Rp250 juta. Dalam SPT 2019, Anda melaporkan harga tanah Rp250 juta. Pada saat yang sama, total penghasilan tahunan Anda saat itu Rp100 juta.
Jika melihat laporan tersebut, Anda tentu berpotensi dimintakan klarifikasi oleh pemeriksa DJP karena ada ketidaksesuaian antara penghasilan dan pertambahan kekayaan. Penghasilan Anda hanya Rp100 juta, tetapi kekayaan justru meningkat Rp150 juta (Rp250 juta-Rp100 juta).
Alhasil, atas ketidaksesuaian tersebut berpotensi dilakukan pemeriksaan oleh petugas pajak. Meski bisa dijelaskan, tentu hal ini akan merepotkan. Untuk itu, Anda perlu cermat dan berhati-hati dalam melaporkan harta, supaya tidak keliru saat mengisi Harga Perolehan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.