Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa PPh Pasal 23 atas penambahan modal disetor dari dividen perusahaan. Selain itu, artikel ini juga membahas mengenai sengketa atas jasa instalasi dan jasa iklan.
Otoritas pajak berargumen bahwa wajib pajak melakukan penambahan modal disetor yang berasal dari dividen perusahaan dan merupakan objek PPh Pasal 23. Selain itu, otoritas pajak juga melakukan koreksi atas jasa instalasi dan jasa iklan yang seharusnya terutang PPh Pasal 23.
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat pihaknya telah melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. Menurut wajib pajak, penambahan modal disetor berasal dari salah satu pemegang saham bukan berasal dividen sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai objek PPh Pasal 23. Sementara itu, menurutnya jasa instalasi dan jasa iklan juga bukan merupakan objek PPh Pasal 23.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya dari pokok sengketa banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa seluruh koreksi terhadap objek pajak PPh Pasal 23 atas dividen, jasa instalasi, dan jasa iklan tidak dapat dipertahankan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-52453/PP/M.VB/12/201 tanggal 12 Mei 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 27 Agustus 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini merupakan koreksi atas objek PPh Pasal 23 berupa dividen, jasa instalasi, dan jasa iklan senilai Rp32.686.856.360 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pemohon PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, terdapat dua pokok sengketa dalam perkara ini.
Sengketa pertama terkait dengan penambahan modal disetor dari dividen perusahaan yang seharusnya terutang PPh Pasal 23. Pemohon PK berargumen bahwa koreksi objek PPh Pasal 23 atas dividen telah sesuai dan dapat dipertahankan. Setidaknya terdapat tiga argumentasi Pemohon PK untuk mempertahankan pendapat tersebut.
Pertama, berdasarkan general ledger, setoran modal tersebut dicatat pada posisi kredit dan tidak memiliki lawan transaksi di sisi debit. Atas pencatatan tersebut, Termohon PK tidak dapat memberikan penjelasan atau dokumen pendukung mengenai penyetoran modal tersebut.
Kedua, pada bukti setoran bank Termohon PK, tidak terdapat keterangan pengirim dana setoran modal tersebut. Padahal, surat setoran atau slip bank umumnya mencantumkan sumber dan tujuan penggunaan dana.
Ketiga, berdasarkan bukti yang ada, pemegang saham utama seharusnya menyetorkan modal sesuai persentase kepemilikannya. Namun, atas objek yang disengketakan, terdapat kelebihan setoran yang melebihi jumlah saham yang seharusnya dimiliki oleh pemegang saham utama.
Dengan demikian, Pemohon PK berpendapat bahwa kelebihan tersebut sebenarnya merupakan dividen yang belum dilaporkan dan telah dikonversi menjadi saham. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukannya sudah tepat.
Sengketa kedua terkait dengan jasa instalasi dan jasa iklan seharusnya terutang PPh Pasal 23. Sebagai informasi, Termohon PK merupakan wajib pajak badan yang bergerak di bidang properti perumahan. Dalam menjalankan usahanya, Termohon PK menggunakan jasa instalasi air serta jasa iklan melalui surat kabar.
Pemohon PK berargumen bahwa kedua jasa tersebut termasuk dalam jenis jasa lain yang diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Dalam aturan tersebut, jasa intalasi dan jasa iklan termasuk dalam jenis jasa lain yang merupakan objek PPh Pasal 23. Merujuk pada ketentuan tersebut, Pemohon PK berargumen bahwa koreksi yang dilakukan atas kedua objek tersebut dapat dipertahankan.
Selain itu, dalam persidangan tidak ada uji bukti atas koreksi objek PPh Pasal 23 untuk jasa instalasi dan jasa iklan. Dengan demikian, argumentasi Termohon PK bahwa kedua jasa tersebut bukan objek PPh Pasal 23 tidak terbukti.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan argumentasi Pemohon PK. Adapun atas sengketa yang pertama, penambahan modal disetor berasal dari salah satu setoran pemegang saham, bukan dari dividen sehingga bukan merupakan objek PPh Pasal 23.
Kemudian atas sengketa yang kedua, koreksi atas objek pajak jasa instalasi tidak dapat dibenarkan karena biaya yang dikeluarkan merupakan pembelian peralatan instalasi listrik dan PAM, bukan biaya jasa instalasi. Sementara itu, koreksi atas jasa iklan juga tidak dapat dipertahankan karena pemasangan iklan di surat kabar harian seharusnya tidak dikenakan PPh Pasal 23.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat diterima. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding Termohon PK dan menetapkan pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil dianggap sudah tepat dan benar. Setidaknya terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK untuk mempertahankan koreksi DPP PPh Pasal 23 tahun pajak 2008 sebesar Rp32.686.856.360 tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan.
Kedua, setelah dilakukan uji bukti oleh para pihak di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, koreksi terhadap Terbanding PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, koreksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 s.t.d.d Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan begitu, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Felix Bahari/sap)