INDONESIA tengah berupaya menyeimbangkan penerimaan negara dengan iklim investasi yang sehat. Namun, ketidakpastian regulasi perpajakan masih menjadi batu sandungan utama.
Dalam Investment Climate Statement: Indonesia (2024), U.S. Department of State menegaskan bahwa legal and regulatory uncertainty, termasuk di bidang perpajakan, masih menjadi hambatan utama investasi. Sejumlah penelitian juga menunjukkan ketidakjelasan aturan pajak dapat menurunkan arus investasi asing langsung, terutama di negara berkembang.
Kondisi itu tecermin dalam data resmi. Berdasarkan catatan Sekretariat Pengadilan Pajak, jumlah sengketa yang diputus mencapai 17.200 perkara sepanjang 2024. Pada saat yang sama, terdapat 11.835 berkas sengketa baru yang masuk.
Angka tersebut memang turun 6,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 12.714 berkas (DDTCNews, 2025). Namun, penurunan tersebut belum cukup untuk mengurangi beban administrasi sengketa yang masih tinggi.
Tren tersebut menunjukkan masalah utama bukan semata banyaknya sengketa, melainkan ketidakpastian aturan yang terus memunculkan perkara baru setiap tahun. Pemerintah seperti sibuk memadamkan api, tetapi lupa menyingkirkan bahan bakarnya.
Selama mekanisme penegakan hukum pajak hanya menunggu perkara masuk ke pengadilan, upaya penyelesaian akan tetap bersifat reaktif. Situasi ini tidak hanya membebani birokrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan investor terhadap kepastian hukum.
Pertanyaannya, apakah kepastian hukum akan terus lahir di ruang sidang, atau justru bisa diantisipasi sejak awal melalui inovasi data analytics?
Selama ini, strategi penegakan hukum pajak di Indonesia cenderung berfokus pada penyelesaian sengketa. Mekanisme keberatan, banding, hingga pengadilan pajak memang tersedia, tetapi energi pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk merespons masalah ketimbang mencegahnya.
Di sinilah konsep predictive compliance menjadi relevan. Pendekatan ini menggunakan data analytics untuk mendeteksi potensi sengketa sejak dini. Alih-alih menunggu wajib pajak mengajukan keberatan atau banding, sistem analitik dapat menandai pola risiko, memberi sinyal peringatan, dan membuka ruang dialog sebelum masalah berkembang lebih jauh.
Beberapa negara telah membuktikan efektivitasnya. Di Inggris, sistem HMRC Connect menggabungkan puluhan sumber data dan menganalisis sekitar 22 miliar entitas data untuk mendeteksi anomali. Sistem ini dilaporkan meningkatkan yield pajak lebih dari £4 miliar sejak dijalankan.
Di Australia, program Justified Trust menunjukkan pergeseran paradigma dari penegakan hukum yang reaktif menuju pendekatan assurance. Program ini membantu otoritas pajak mencapai tingkat overall high assurance sehingga pemeriksaan berulang dapat diminimalkan.
Sementara itu, OECD mendorong International Compliance Assurance Programme (ICAP) sebagai kerangka pencegahan sengketa lintas yurisdiksi melalui penilaian risiko bersama dan keterbukaan data antarpemerintah.
Indonesia sejatinya memiliki modal kuat: basis data perpajakan yang makin luas, mulai dari laporan SPT, data pihak ketiga, hingga transaksi digital. Sayang, data ini sering kali berakhir hanya sebagai arsip. Predictive compliance bisa mengubahnya menjadi alat prediksi yang bernilai strategis.
Terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, data perlu diintegrasikan, termasuk dari UMKM digital yang kini tumbuh pesat. Kedua, algoritma sederhana seperti decision tree dapat digunakan untuk memberikan risk scoring bagi setiap wajib pajak.
Ketiga, wajib pajak berisiko tinggi bisa menerima peringatan dini dan mendapatkan ruang dialog. Keempat, penyelesaian preventif dilakukan agar potensi sengketa tidak berkembang ke tahap litigasi.
Salah satu bentuk adaptasi yang relevan ialah mengintegrasikan predictive compliance dengan pengembangan peradilan pajak elektronik (e-tax court).
Integrasi ini memungkinkan sistem analitik berperan bukan hanya sebagai pendeteksi potensi sengketa, tetapi juga sebagai instrumen manajemen perkara yang mampu memprofilkan risiko sebelum masuk ke pengadilan. Alhasil, penumpukan perkara dapat ditekan secara lebih sistematis dan efisien.
Penulis meyakini manfaat penerapan predictive compliance bersifat dua arah. Bagi pemerintah, beban administrasi berkurang, penerimaan lebih stabil, dan kualitas penegakan hukum meningkat. Bagi wajib pajak dan investor, kepastian hukum lebih terjamin, biaya kepatuhan lebih rendah, dan risiko sengketa menurun signifikan.
Tak hanya itu, bagi iklim investasi, pendekatan ini menjadikan Indonesia bukan hanya negara dengan tarif pajak kompetitif, tetapi juga dengan sistem perpajakan yang modern, adil, dan dapat diprediksi.
Gagasan tersebut sejalan dengan RPJMN 2025–2029, yang menargetkan peningkatan penerimaan perpajakan disertai penguatan iklim investasi. Predictive compliance dapat mempersempit tax gap, menekan sengketa, dan meningkatkan kepastian usaha—3 aspek penting untuk mengoptimalkan pajak tanpa mengorbankan daya tarik investasi.
Sudah saatnya Indonesia beralih dari paradigma resolusi sengketa menuju pencegahan sengketa. Predictive compliance berbasis data analytics bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan strategi kebijakan untuk menyeimbangkan kepentingan fiskal dan dunia usaha.
Dengan kepastian hukum yang lebih kokoh, Indonesia dapat benar-benar mewujudkan visi sebagai negara yang pro pajak sekaligus pro investasi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.