OPINI PAJAK

e-Tax Court Berbasis AI untuk Penyelesaian Sengketa Pajak

Redaksi DDTCNews
Senin, 29 September 2025 | 09.00 WIB
e-Tax Court Berbasis AI untuk Penyelesaian Sengketa Pajak
Yayang Nanda Budiman,
Praktisi Hukum

TRANSFORMASI digital dalam administrasi perpajakan di Indonesia terus bergerak maju seiring dengan disrupsi yang terjadi. Salah satu tonggak pentingnya adalah lahirnya e-Tax Court sebagai platform peradilan pajak secara digital.

Lahirnya sistem baru itu dilandasi Peraturan Ketua Pengadilan Pajak PER-1/PP/2023 tentang Administrasi Sengketa Pajak dan Persidangan Secara Elektronik, yang mencabut ketentuan lama. Beleid itu juga memperluas cakupan digitalisasi ke ranah administrasi sengketa pajak secara menyeluruh.

Sejak diluncurkan, sistem ini dipandang mampu memperluas akses terhadap keadilan fiskal, meningkatkan transparansi, dan mengefisienkan penyelesaian sengketa. Namun, apakah itu sudah cukup?

Digitalisasi administrasi perpajakan, termasuk sengketa pajak, sebenarnya bisa saja diintegrasikan dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. AI bisa membantu wajib pajak untuk lebih mengefisienkan urusan administrasinya di Pengadilan Pajak.

Seperti apa peluang yang ditawarkan? Apa saja tantangan hukum dan moral yang mungkin muncul? Tulisan ini akan fokus menjawab pertanyaan tersebut.

Tren Sengketa dan Modernisasi Peradilan Pajak

Data Pengadilan Pajak menunjukkan tren penurunan jumlah sengketa banding dalam 5 tahun terakhir. Pada 2020, jumlah sengketa banding mencapai 16.646 berkas. Angka ini menurun menjadi 15.188 pada 2021, 14.709 pada 2022, 12.714 pada 2023, dan 11.835 pada 2024.

Penurunan jumlah perkara berbanding lurus dengan peningkatan tingkat penyelesaian. Total akumulasi penyelesaian perkara banding pajak periode 2020 hingga 2025 mencapai 72.115 berkas.

Tren ini menunjukkan 2 hal. Pertama, penyelesaian sengketa pajak semakin efisien. Kedua, modernisasi peradilan pajak melalui digitalisasi berkontribusi terhadap percepatan penyelesaian perkara.

Sejak Mahkamah Agung memperkenalkan sistem e-Court pada 2018, integrasi teknologi dalam proses peradilan telah menjadi agenda strategis. Tujuan utamanya adalah mempercepat penyelesaian sengketa, menghemat biaya, dan meningkatkan keterbukaan informasi.

Sistem e-Tax Court merupakan bagian dari komitmen tersebut. Aplikasi ini memfasilitasi pengajuan gugatan, banding, dan dokumen persidangan secara daring. Wajib pajak tidak lagi terbatas pada pengiriman fisik berkas, melainkan dapat memanfaatkan unggahan dokumen digital.

Proses persidangan pun dilakukan secara daring sehingga memudahkan akses bagi pihak yang berada di luar Jakarta atau wilayah lain yang belum memiliki Pengadilan Pajak. Dengan fondasi digital yang sudah berjalan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memperluas manfaat e-Tax Court dengan dukungan kecerdasan buatan?

Potensi AI dalam Pengembangan E-Tax Court

Kecerdasan buatan telah membawa dampak signifikan di berbagai sektor, termasuk peradilan. Di beberapa yurisdiksi, AI telah digunakan untuk mendukung analisis perkara ringan, membantu penyusunan dokumen, hingga memprediksi hasil putusan. Meski belum sepenuhnya menggantikan hakim, teknologi ini terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan konsistensi.

Dalam konteks e-Tax Court, terdapat beberapa potensi pemanfaatan AI. Pertama, AI dapat mempercepat analisis dokumen. Sengketa pajak sering kali melibatkan ribuan halaman bukti, laporan keuangan, dan kontrak bisnis. AI mampu melakukan penyaringan dokumen secara cepat, menandai data relevan, serta mengelompokkan informasi yang diperlukan hakim maupun kuasa hukum.

Kedua, AI dapat mendukung legal research otomatis. Sistem dapat menelusuri putusan pengadilan sebelumnya, peraturan perpajakan, hingga doktrin yang relevan untuk membantu argumentasi para pihak. Hal ini dapat menekan disparitas putusan karena hakim memiliki akses pada basis data yang lebih sistematis.

Ketiga, AI dapat digunakan untuk prediksi hasil sengketa. Dengan memanfaatkan big data putusan pajak, algoritma dapat memberikan proyeksi arah putusan. Bagi wajib pajak maupun kuasa hukum, fitur ini bermanfaat untuk menilai peluang penyelesaian sengketa sebelum mengajukan banding atau gugatan.

Keempat, AI berpotensi memperluas access to justice melalui layanan asisten virtual. Chatbot hukum berbasis AI dapat membantu wajib pajak kecil atau UMKM yang tidak memiliki akses ke konsultan pajak untuk memahami prosedur berperkara.

Potensi tersebut sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana ditekankan dalam Undang-Undang Peradilan Pajak. Namun, pemanfaatan AI tidak lepas dari sejumlah tantangan serius.

Tantangan Hukum dan Etika

Pemanfaatan AI dalam e-Tax Court harus memperhatikan asas kepastian hukum dan keadilan. Ada beberapa isu krusial yang perlu dicermati. Pertama, validitas bukti digital. Apabila AI digunakan untuk menganalisis bukti, perlu kejelasan apakah hasil analisis tersebut dapat diterima secara sah dalam persidangan.

Kedua, independensi hakim. AI seharusnya ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengambil keputusan. Risiko yang muncul adalah kecenderungan hakim untuk bergantung pada rekomendasi algoritma. Hal ini berpotensi mengurangi peran manusia dalam menimbang nilai keadilan substantif.

Ketiga, bias algoritma. AI hanya sebaik data yang melatihnya. Jika data putusan masa lalu memiliki inkonsistensi, bias tersebut berpotensi terbawa ke analisis AI.

Keempat, privasi dan keamanan data. Data perpajakan tergolong sangat sensitif. Penerapan AI yang mengandalkan big data harus disertai sistem enkripsi dan standar perlindungan privasi yang ketat.

Kelima, asas fair trial. Pemanfaatan AI harus menjamin kesetaraan akses. Jika hanya pihak tertentu yang mampu memanfaatkan teknologi ini, akan terjadi ketimpangan akses terhadap keadilan.

Tantangan tersebut menunjukkan perlunya kerangka hukum yang jelas. Indonesia belum memiliki aturan khusus yang mengatur penggunaan AI dalam peradilan pajak. Tanpa regulasi yang memadai, pemanfaatan AI berpotensi menimbulkan sengketa baru.

Pembelajaran dari Praktik Internasional

Beberapa negara telah melakukan eksperimen dengan AI dalam sistem peradilan. China meluncurkan Internet Courts yang menggunakan AI untuk menangani sengketa e-commerce dan kekayaan intelektual. Estonia mengembangkan proyek Robot Judge untuk sengketa keuangan kecil, meskipun kemudian memutuskan AI hanya berfungsi sebagai alat bantu.

Dari pengalaman tersebut, terdapat dua pelajaran penting. Pertama, AI sebaiknya ditempatkan sebagai pendukung analisis, bukan pengambil keputusan final. Kedua, regulasi dan transparansi algoritma menjadi kunci agar pemanfaatan AI tidak merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Indonesia dapat mengambil pendekatan hibrida. AI digunakan untuk mendukung hakim dalam mengelola dokumen, riset hukum, dan efisiensi proses, sementara putusan akhir tetap berada di tangan hakim.

Kebutuhan Regulasi dan Infrastruktur

Pemanfaatan AI dalam e-Tax Court tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan regulasi. Revisi terhadap Undang-Undang Pengadilan Pajak maupun aturan turunan seperti PMK dan Peraturan Ketua Pengadilan Pajak mungkin diperlukan. Tujuannya untuk menetapkan batas kewenangan AI, memastikan perlindungan data, dan menjamin hak-hak para pihak.

Selain regulasi, penguatan infrastruktur juga menjadi syarat utama. Ketersediaan jaringan internet yang stabil, kapasitas penyimpanan data yang besar, serta sistem keamanan siber yang kuat harus dipastikan. Tanpa itu, pemanfaatan AI justru berpotensi menimbulkan risiko baru seperti kebocoran data atau serangan siber.

Kesiapan sumber daya manusia juga penting. Hakim, panitera, dan pegawai pengadilan perlu diberikan pelatihan mengenai penggunaan teknologi ini. Tanpa literasi digital yang memadai, AI tidak akan digunakan secara optimal.

Penutup

Pengembangan e-Tax Court berbasis artificial intelligence menawarkan peluang besar dalam modernisasi peradilan pajak di Indonesia. Teknologi ini dapat mempercepat analisis dokumen, memperluas akses keadilan, serta meningkatkan konsistensi putusan. Namun, pemanfaatannya harus dilakukan dengan hati-hati, memperhatikan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan data.

Indonesia dapat belajar dari praktik internasional dengan menempatkan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti hakim. Regulasi yang jelas, infrastruktur yang kuat, dan literasi digital para pemangku kepentingan menjadi prasyarat.

Tujuan akhirnya adalah menciptakan peradilan pajak yang cepat, sederhana, biaya ringan, sekaligus adil dan terpercaya. Dengan langkah yang terukur, e-Tax Court berbasis AI dapat menjadi tonggak penting dalam reformasi hukum perpajakan di Indonesia. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.