LAPORAN FOKUS

‘Rakyat Dapat Keringanan dari Naiknya Batas Pembebasan Pajak’

Sapto Andika Candra
Rabu, 25 Juni 2025 | 14.20 WIB
‘Rakyat Dapat Keringanan dari Naiknya Batas Pembebasan Pajak’

BARANGKALI 'ketakutan' publik terhadap pajak memang masalah klasik. Kenyataan ini bisa disimak dalam rubrik 'Bina Pajak' asuhan Harian Kompas edisi Jumat, 7 Maret 1973. 

Sebuah surat pembaca berjudul Warung Pensiunan dikirimkan oleh Saudara 'W'. Pesan yang disampaikan pembaca tersebut barangkali sudah kelewat uzur. Namun, fenomenanya masih relevan dengan konteks hari ini, 52 tahun berselang. 

Pembaca itu mengaku sebagai seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) yang berniat membuat usaha mandiri selepas tak lagi berdinas. Usahanya berupa warung kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari. 

Hanya saja, pensiunan PNS tersebut menyimpan kegamangan untuk membuka usaha sendiri. Dalam surat tersebut disebutkan kalau dirinya khawatir didatangi 'tukang pajak'.  

"Sedang warung itu belum tentu laku karena rumah saya terletak bukan di jalan strategis. Apakah betul, sekali kita kena pajak, untuk seterusnya selalu dikenakan pajak? Sekalipun warung saya bangkrut?" tulis penanya lewat rubrik 'Bina Pajak'. 

Lewat jawabannya, pengasuh rubrik 'Bina Pajak' mencoba memberikan penjelasan mengenai ketentuan perpajakan bagi orang pribadi sesuai dengan peraturan perundang-undangan saat itu. Tentu saja, kala itu belum terbit reformasi ketentuan pajak penghasilan sesuai dengan UU 7/1983 tentang PPh. 

"Saudara tidak usah dan tidak perlu khawatir akan 'tukang-tukang pajak'", jawab pengasuh rubrik 'Bina Pajak'.

Pengasuh rubrik menjelaskan bahwa pajak tidak serta merta dipotong dari keuntungan yang diperoleh dari hasil jualan warung. Setelah diperoleh untung bersih, penghasilan masih perlu dipotong dengan batas pendapatan bebas pajak (BP-BP) yang jumlahnya Rp60.000 dalam setahun untuk orang pribadi.

Itu pun, tarif pajak penghasilan bersifat progresif sesuai dengan total penghasilan yang diperoleh setiap individu. 

"Pajak tidak dipungut sembarang pungut. Tetap menurut ketentuan-ketentuan yang wajar dan layan," tulis pengasuh rubrik 'Bina Pajak'.

Keberadaan batas pendapatan bebas pajak (BP-BP) sebagai cikal bakal ketentuan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan mekanisme yang dibentuk oleh pemerintah untuk 'melindungi' masyarakat dengan ekonomi lemah dari pengenaan pajak. 

Di Indonesia, skema BP-BP sendiri mulai dikenalkan lewat Ordonansi Pajak Pendapatan sebagai warisan dari peraturan kolonial Belanda. BP-BP diberlakukan agar pajak pendapatan tidak serta merta dipungut atas setiap penghasilan yang diperoleh masyarakat. 

Skema pengurangan atas penghasilan neto oleh wajib pajak tersebut diharapkan bisa memberikan keadilan bagi wajib pajak.

Dalam sejarahanya, besaran BP-BP pada era Orde Baru kerap disesuaikan. Bahkan, penyesuaian dilakukan nyaris setiap tahun. 

Berdasarkan dokumen naskah Nota Keuangan dan RAPBN 1975/1976 misalnya, disebutkan bahwa penyesuaian BP-BP dilakukan pada 1969, 1970, 1971, 1973, dan 1974. Penyesuaian batas pendapatan bebas pajak dilakukan dengan menyesuaikan inflasi dan kemampuan ekonomi masyarakat. 

Kemudian, terhitung sejak 1983 sampai dengan saat ini, selepas BP-BP diubah menjadi PTKP, penyesuaian besarannya juga sudah dilakukan sebanyak 9 kali. Penyesuaian PTKP terakhir kali dilakukan pada 2015 dan 2016. 

Konsep pengenaan PTKP disebut oleh Ali Wardhana, menteri keuangan periode 1968-1983, sebagai salah satu pendorong kepatuhan pajak. Bersama dengan tarif pajak yang dinilai cukup rendah, PTKP diharapkan bisa menumbuhkan pemahaman di tengah-tengah rakyat bahwa pajak itu dikenakan secara adil. 

Dengan pemikiran bahwa 'pajak itu adil', diharapkan wajib pajak memiliki kepatuhan sukarela di kemudian hari. Ketika penghasilan sudah melebihi batas PTKP, sudah semestinya wajib pajak menyetorkan pajaknya. 

"Pembayar pajak mendapat keringanan dengan dinaikkannya batas pembebasan pengenaan pajak," kata Ali Wardhana.

Namun, konsep ini sedikit bertolak belakang dengan pemikiran yang diusung oleh dirjen pajak periode 1970 hingga 1981, Sutadi Sukarya. 

Sutadi sempat menyampaikan pemikirannya bahwa semestinya pajak tidak hanya menyasar wajib pajak yang 'itu-itu saja'. Sutadi menginginkan perluasan basis pajak dengan memasukkan lebih banyak wajib pajak ke dalam 'kolam' pengawasan. 

Karenanya, konsep kenaikan PTKP secara reguler bisa jadi tidak sejalan dengan pemikiran Sutadi. 

Dalam konteks saat ini, besaran PTKP sudah nyaris satu dekade tidak mengalami perubahan. Penentuan PTKP sejatinya merupakan kebijakan berbasis riset yang perlu dipandu oleh data-data terkini, termasuk daya beli masyarakat. 

Pemerintah punya opsi terbuka untuk menaikkan --atau malah menurunkan-- PTKP tergantung dengan pandangan objektif tentang keadilan pajak. 

Apakah perlu menaikkan batas PTKP sebagai kebijakan populis yang digadang-gadang bisa menaikkan daya beli dan kepatuhan wajib pajak? Atau justru PTKP perlu ditinjau ulang kenaikannya agar lebih banyak lagi wajib pajak yang terjangkau pemungutan pajak? 

Sebuah pepatah Jawa bisa jadi panduan bagi kita semua dalam memandang pajak. Jer basuki mawa bea, artinya sebuah kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan ongkos yang dibayar. Nah, pajak itulah ongkosnya. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.