TERBITNYA surat ketetapan pajak (SKP) bukan berarti mutlak mengakhiri prosedur administrasi pajak. Hal ini lantaran direktur jenderal (dirjen) pajak dalam kondisi tertentu dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Sesuai dengan namanya, SKPKBT merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan (SKP yang telah diterbitkan sebelumnya). Perincian ketentuan SKPKBT diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Selain itu, perincian tata cara penerbitan SKPKBT juga telah diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 80 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Dan Surat Tagihan Pajak (PMK 80/2023). Lantas, apa saja alasan yang membuat dirjen pajak menerbitkan SKPKBT dan apa konsekuensi dari terbitnya SKPKBT?
Sesuai dengan Pasal 15 UU KUP, dirjen pajak dapat menerbitkan SKPKBT apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Penerbitan SKPKBT dimaksudkan untuk menampung kemungkinan suatu SKPKB atau SKPN yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah. SKPKBT bisa juga mengakomodasi kemungkinanan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam SKPLB.
Dirjen pajak berwenang untuk menerbitkan SKPKBT tersebut dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. Berdasarkan Pasal 8 PMK 80/2023, SKPKBT diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan ulang terhadap:
i. data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
ii. data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang; dan/atau
iii. keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Keterangan tertulis bisa tersebut bisa diajukan dengan syarat dirjen pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Pada hakikatnya, SKPKBT merupakan koreksi atas SKP sebelumnya. Oleh karenanya, SKPKBT baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan SKP. Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat ada data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak terutang dalam SKP sebelumnya.
Begitu pula atas SKPLB yang terbit akibat telah lewat batas waktu 12 bulan terkait dengan proses restitusi pajak (Pasal 17B UU KUP). Pada konteks ini, SKPKBT diterbitkan hanya apabila ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap.
Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT maka SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi. Begitu pula apabila ada data baru yang diketahui kemudian oleh dirjen pajak maka SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
Kendati dirjen pajak diberikan wewenang untuk menerbitkan SKPKBT, penerbitan surat ketetapan tersebut tidak bisa sembarangan. Sebab, pada prinsipnya penerbitan SKPKBT dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut bisa berupa pemeriksaan ulang atau bukan pemeriksaan ulang. Adapun pemeriksaan ulang dilakukan apabila SKP yang sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan SKPKBT.
Sementara itu, apabila SKP yang sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a maka SKPKBT tetap harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, SKPKBT tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan SKP. Namun, seperti yang telah disebutkan, penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru serta data yang semula belum terungkap.
Adapun yang dimaksud dengan ‘data baru’ adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh wajib pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula.
Data tersebut sebelumnya tidak diungkapkan oleh wajib pajak baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
i. tidak diungkapkan oleh wajib pajak dalam SPT beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
ii. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula (SKP sebelumnya) wajib pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci. Hal ini membuat fiskus tidak dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun wajib pajak telah memberitahukan data dalam SPT atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi masih ada potensi data tersebut dianggap sebagai data yang semula belum terungkap.
Hal ini bisa terjadi apabila wajib pajak memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar.
Pada muaranya, hal tersebut membuat jumlah pajak terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya. Apabila hal ini terjadi maka data tersebut bisa termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Misal, dalam SPT dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan senilai Rp10 juta. Biaya tersebut sesungguhnya terdiri atas Rp5 juta biaya iklan di media massa dan Rp5 juta sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Namun, pada saat pemeriksaan dalam rangka penetapan semula (SKP sebelumnya) wajib pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut. Alhasil, fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar.
Pada kasus tersebut data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tergolong data yang semula belum terungkap.
Wajib pajak yang diterbitkan SKPKBT akan terkena sanksi berupa kenaikan 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Dengan demikian, wajib pajak harus membayar jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Namun, sanksi kenaikan tidak dikenakan apabila SKPKBT itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri. Dengan catatan, keterangan tertulis itu disampaikan sebelum dirjen pajak melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. (sap)