TEKNOLOGI digital menjadi topik yang masih hangat untuk diperbincangkan. Di sektor ekonomi, teknologi digital telah memudahkan kita untuk dapat memenuhi segala kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun sekunder dengan cukup bertransaksi secara online.
Terlebih dengan adanya pandemi Covid-19, peran teknologi digital kini makin penting sebagai tulang punggung pergerakan aktivitas masyarakat di dunia. Ketimpangan ekonomi makin terasa dikarenakan hanya sektor-sektor tertentu yang mengalami peningkatan secara signifikan.
Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan perusahaan digital yang meningkatkan layanan belanja online, layanan streaming, dan konferensi virtual. Perkembangan itu juga didukung dengan peningkatan jumlah pasar dalam skala besar.
Untuk itu, beberapa orang mengeklaim perusahaan digital harus mengembalikan sebagian peningkatan laba untuk membantu memerangi pandemi. Namun demikian, sistem perpajakan di banyak negara tidak lagi efektif menghimpun pendapatan dari aktivitas bisnis model baru secara digital.
Revolusi ekonomi digital yang berkembang pesat telah menjadi fokus OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dan G-20 dalam beberapa tahun terakhir ini. Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan.
Pertama, pesatnya perkembangan ekonomi berbasis teknologi digital lintas negara dan belum ada kesepakatan antarnegara terkait dengan sistem perpajakan yang sesuai. Kedua, bisnis lintas negara berbasis teknologi digital tidak membutuhkan kehadiran kantor secara fisik di negara-negara yang menjadi basis pemasaran produk dan jasanya.
Ketiga, perkembangan usaha dinilai telah mempersulit pemerintah dan pelaku usaha dalam menentukan jumlah pengenaan pajak penghasilan yang tepat dan kepada otoritas negara mana pajak tersebut harus dibayarkan.
Keempat, digitalisasi telah memengaruhi aktivitas transfer pricing perusahaan multinasional untuk mengalihkan profit ke cost untuk mengurangi pendapatan kena pajak. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kewajiban pembayaran pajak perusahaan tersebut pada suatu negara.
Atas permasalahan tersebut, OECD dan G-20 mengupayakan evaluasi serta penyesuaian proyek Pilar 1 (nexus dan atribusi laba) dan pajak minimum global. Belum lama ini, sebanyak 130 yuridiksi anggota inclusive framework resmi menyepakati dua proposal OECD, yaitu Pilar 1 dan Pilar 2.
Pillar 1 menghasilkan kesepakatan bahwa hak pemajakan atas laba korporasi multinasional akan direalokasikan menuju yurisdiksi pasar tempat korporasi multinasional memperoleh labanya.
Sementara itu, Pilar 2 menyepakati adanya penerapan pajak korporasi minimum global dengan tarif yang bertujuan untuk melindungi basis pemajakan dari setiap yurisdiksi.
Atas hasil kesepakatan tersebut, OECD menegaskan konsensus pajak ekonomi digital akan memberi keuntungan bagi semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Pengaruh Pajak Digital pada Marketplace
PAJAK digital akan berlaku selama perusahaan digital tersebut memiliki basis konsumen di yuridiksi yang mengenakan pajak digital. Lalu bagaimana pengaruh transformasi pajak digital terhadap transaksi lintas negara?
Yue Daisy Day melalui publikasinya berjudul How Would Digital Tax Reform Affect the Cross-Border Marketplace menjelaskan transformasi pajak digital akan membuat konsumen akhir menanggung biaya pajak digital.
Apa yang dikatakan Yue benar adanya. Pada 2017, ketika Australia memperkenalkan pajak atas barang dan jasa untuk unduhan digital, Netflix merespons dengan menaikkan biaya langgaran sebesar 10%. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, pelanggan Netflix harus menanggung kenaikan biaya langganan sejak dikenakannya pajak kepada perusahaan layanan digital per 1 Agustus 2020.
Selain itu, pajak digital juga akan memengaruhi entitas kecil dan menengah. Sebagaimana yang terjadi di Prancis, wajib pajak yang sudah membayar pajak penghasilan badan sebesar 31% cenderung membayar lebih jika mereka terus menggunakan pasar digital dan pemasangan iklan. Berbeda dengan perusahaan teknologi dalam skala besar yang tidak akan terpengaruh secara signifikan karena kemampuannya yang dapat mengalihkan beban ke hilir.
Lebih lanjut, Yue memandang pertumbuhan ekonomi digital lintas negara yang begitu besar menjadi hal yang sangat menarik dan diharapkan menjadi sumber pendapatan negara melalui pajak, terlebih pada situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Dia juga menjelaskan bagaimana e-commerce lintas batas berkembang pesat di China di antaranya terkait dengan kehadiran aplikasi Alipay Alibaba dan WeChat Tecent sebagai media transaksi tanpa uang tunai memainkan peran penting dalam ekosistem digital China.
Masyarakat China mengandalkan aplikasi tersebut untuk terhubung dengan orang lain dan melakukan pembayaran secara online. Transaksi tanpa uang tunai tersebut juga dinilai hampir setara dengan utilitas publik dan infrastruktur penting.
Selanjutnya, pesatnya perkembangan impor ritel CBEC (Cross-Border E-Commerce) di China membuat Pemerintah China menjadikan bisnis CBEC sebagai prioritas dengan pemberlakuan UU E-Commerce. Kebijakan tersebut mengatur kepastian regulasi dan administrasi dengan pemungutan pajak yang lebih rendah untuk barang-barang yang tingkat permintaannya tinggi.
Kebijakan pengenaan bea cukai, pajak penghasilan, serta dividen yang lebih rendah juga menjadi salah satu strategi Pemerintah China terhadap perusahaan MNE (Multinasional Enterprise) untuk lebih ekspansif menyasar pasar digital secara global.
Terlepas dari ketidakpastian reformasi pajak internasional, Yue menilai perusahaan MNE harus bersiap dalam mengelompokkan keuntungan global berdasarkan lini bisnis. Hal ini dapat menentukan apakah lini bisnis telah mencapai ambang batas basis pemajakan atau tidak.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.