HAMPIR setiap negara memiliki dan menerapkan sanksi perpajakan dalam rezim pajaknya. Setiap negara juga memiliki konsep dan aturan yang berbeda-beda dalam menentukan sanksi perpajakan.
Sanksi perpajakan dikenakan kepada wajib pajak yang melakukan praktik ketidakpatuhan pajak. Dalam mengatur sanksi perpajakan dibutuhkan pemahaman lebih dalam agar tercipta keadilan, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Apabila sanksi pajak yang diberikan terlalu tinggi maka beban yang ditanggung wajib pajak juga akan semakin berat. Akan tetapi, jika sanksi terlalu rendah maka otoritas yang akan mengalami kerugian. Penggunaan sanksi perpajakan tidak hanya berguna sebagai hukuman atau memberikan efek jera, tetapi juga untuk meningkatkan kepatuhan para wajib pajak.
Sanksi perpajakan ini menjadi bahasan dalam buku berjudul ‘Surcharges and Penalties in Tax Law’. Kumpulan tulisan dari 50 akademisi ini disunting oleh Roman Seer dan Anna Lena Wilms. Tidak hanya menjelaskan jenis-jenis sanksi perpajakan saja, penulis juga memberikan arahan pentingnya mengategorikan sanksi perpajakan secara proporsional.
Buku yang diterbitkan IBFD pada 2016 tersebut memperdalam pembahasan dengan melakukan studi komparasi pada 20 negara. Adapun negara-negara yang dimaksud adalah Austria, Belgia, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Italia, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
Setiap negara diulas dengan komprehensif, mulai dari jenis sanksi serta pengelompokannya, besaran sanksi, hingga efektivitas penerapannya di setiap negara. Penulis juga menjelaskan bahwa sanksi perpajakan terbagi menjadi dua, sanksi administratif dan sanksi pidana.
Sanksi administratif cocok digunakan untuk mengatasi perilaku tidak patuh yang mudah terdeteksi dan sederhana, seperti keterlambatan pelaporan pajak. Sanksi administratif pun masih terbagi menjadi bunga, denda, dan kenaikan yang ditentukan berdasarkan tingkat kesalahannya. Sementara itu, sanksi pidana hanya boleh diberlakukan untuk pelanggaran yang bersifat serius, seperti adanya penipuan atau penggelapan pajak.
Buku ini juga mengaitkan sanksi perpajakan dengan konsep proporsionalitas. Konsep tersebut pada umumnya ingin membedakan derajat kesalahan yang diperbuat oleh wajib pajak dan disesuaikan dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dengan konsep tersebut, dapat tercipta keadilan karena adanya penyesuaian hukuman terhadap kesalahan.
Penggunaan konsep proporsionalitas tercermin dalam kebijakan sanksi perpajakan di Inggris. Kebijakan penetapan sanksi perpajakan di negara tersebut terlebih dahulu melihat tingkat kesalahannya yang terbagi menjadi tiga.
Pertama, untuk kesalahan yang dilakukan secara tidak sengaja akan diberikan sanksi yang paling rendah. Pelanggaran jenis ini nantinya masih dibedakan tingkat sanksinya berdasarkan ada atau tidaknya penagihan dan jangka waktu pelunasannya. Kedua, pelanggaran yang disengaja tapi tidak disembunyikan. Ketiga, pelanggaran yang disengaja dan disembunyikan. Kesalahan ini akan memperoleh tarif sanksi paling tinggi.
Melihat konteks Indonesia, saat ini pemerintah berencana untuk melakukan pengaturan ulang sanksi administrasi perpajakan dalam skema peraturan omnibus law. Salah satu poin pengaturan ulang yang menjadi highlight adalah penetapan hukuman mengacu pada kesalahan yang diperbuat oleh wajib pajak. Buku ini dapat menjadi rujukan bagi para pemangku kebijakan, akademisi, maupun praktisi untuk memahami desain sanksi perpajakan yang proporsional secara mendalam.
Sangat menarik jika kita belajar dari pemikiran-pemikiran serta implementasi pengenaan sanksi perpajakan di negara lain seperti yang ditawarkan dalam buku tersebut. Bukan tidak mungkin Indonesia dapat mengadopsi ide dalam penentuan sanksi perpajakan yang diulas dalam buku tersebut. Tertarik untuk membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library. *