PENGAMPUNAN pajak atau secara populer disebut amnesti pajak adalah bagian penting dalam sejarah perpajakan Indonesia. Sejatinya, amnesti pajak bukanlah barang baru di jagat perpajakan, setidaknya 38 negara telah menerapkannya. Negara yang maju dengan sistem perpajakan yang matang, lazim menerapkan amnesti pajak.
Hasil penelitian dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa peluang keberhasilan dan kegagalan penerapan amnesti pajak cukup berimbang (Baer & Le Borgne, 2008). Terdapat lima tujuan amnesti pajak yang lazim disebut, antara lain:
Kendati demikian, bagi sebagian pihak, amnesti pajak dinilai memiliki sisi negatif seperti keadilan (fairness), menggambarkan ketidakseriusan penegakan hukum terhadap pengemplang pajak, dan menunjukkan lemahnya administrasi pajak.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa di negara berkembang yang belum didukung sistem administrasi yang baik dan ketersediaan data yang akurat, amnesti pajak cenderung tidak berhasil dan menurunkan kepatuhan pajak.
Buku berjudul Pengampu[n]an Pajak, Historiografi Perjalanan Amnesti Pajak di Indonesia karya Yustinus Prastowo ini membahas mengenai perjalanan panjang program amnesti pajak.
Buku hasil kumpulan artikel penulisnya di berbagai media massa dalam kurun 2015-2017 ini membahas pro kontra penerapan amnesti pajak, pengajuan RUU Pengampunan pajak, perbedaan hasil amnesti pajak di beberapa negara.
Tidak hanya itu, tantangan dalam pelaksanaan amnesti pajak dan masuknya UU Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak ke meja mahkamah konstitusi untuk diuji materiil, pencapaian amnesti pajak pada setiap periode, hingga langkah ke depan pascaamnesti pajak juga dipaparkan dalam buku ini.
Kemunculan amnesti pajak di tengah tekanan pencapaian target penerimaan pajak, nyatanya mengundang tanda tanya besar, mungkinkah ini hanya scenario yang dirancang untuk menguntungkan pihak tertentu, atau justru amnesti dilakukan sebagai tombak awal pelaksanaan reformasi perpajakan yang komprehensif.
Kondisi penerimaan pajak 2015 yang hanya mencapai 82% dari target, rata-rata tax ratio Indonesia yang masih di bawah negara-negara tetangga, rendahnya kepatuhan pajak, serta melebarnya kesenjangan pajak berdasarkan koefisien gini yang hanya dapat diselesaikan melalui reformasi perpajakan tentu menjadi alasan sekaligus tujuan penerapan amnesti pajak.
Saat Pengampunan Tiba
DPR akhirnya menyetujui RUU Pengampunan Pajak yang disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2016. UU Pengampunan Pajak tersebut dinilai cukup akomodatif terhadap aspirasi publik, mudah, sederhana dan lugas.
Berdasarkan beleid tersebut, amnesti pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang dan tidak dikenaik sanksi administrasi serta pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.
Amnesti pajak diberikan dalam periode sejak 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Baik orang pribadi maupun badan diperbolehkan ikut program tersebut.
Harus diakui amnesti pajak memang bukanlah program terbaik tetapi merupakan program yang palaing memungkinkan untuk dilakukan. Di tengah perlambatan ekonomi, stagnasi penambahan jumlah wajib pajak dan basis pajak, terseoknya agenda reformasi pajak dan tuntutan kebaikan penerimaan pajak yang tinggi, amnesti pajak memberi jalan bagi kebuntuan dan transformasi yang dilakukan.
Setelah Amnesti Pajak
KISAHÂ keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan amnesti pajak di berbagai negara pun patut diperhatikan dengan saksama. Program amnesti pajak yang telah bergulir selama 9 bulan dan boleh dibilang telah menuai sukses.
Jika diukur dengan jumlah harta yang dideklarasikan dan uang tebusan yang dibayar, Indonesia termasuk yang paling berhasil. Jumlah harta deklarasi sampai sebesar Rp4.865 dan uang tebusan mencapai Rp114 triliun. Terkait dengan dana repatriasi yang menjadi tujuan utama dari amnesti pajak ini hanya meraih Rp147 triliun.
Indonesia berhasil melampaui pencapaia Italia, Chile, dan Afrika Selatan, tiga negara yang kerap dirujuk sebagai contoh sukses pelaksanaan amnesti pajak. Pencapaian ini tentu saja patut untuk disyukuri.
Amnesti pajak merupakan jembatan menuju reformasi pajak yang komprehensif. Prasyarat-prasyarat sistem perpajakan yang kuat perlu segera dipenuhi, antara lain revisi UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, dan aturan mengenai pertukaran informasi perpajakan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) yang akan segera dilakukan.
Sebagai penutup, pada bagian akhir buku ini terdapat artikel menarik yang mengulas mengenai pencapaian akhir amnesti pajak dan langkah apa yang akan dilakukan setelah amnesti pajak berakhir. Langkah inilah yang disebut sebagai amnesti pajak sebagai tombak awal keberlangsungan reformasi perpajakan secara komprehensif’.
Memang, sebagaimana lazimnya buku hasil kumpulan artikel di koran, ada sejumlah repetisi yang tentu saja mengurangi kenikmatan membaca, dengan koherensi antarartikel yang cukup longgar.
Namun, sebagai catatan perjalanan sebuah kebijakan, buku ini menawarkan konteks lain yang dapat memperkuat pemahaman mengenai tax amnesty. Tertarik untuk membaca buku ini lebih lanjut? Silahkan datang ke DDTC Library.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.