Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Indonesia dinilai sudah selangkah lebih maju melalui pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Melalui skema ini, pemerintah bisa memungut PPN atas pemanfaatan barang tidak berwujud maupun jasa dari luar Indonesia di dalam Indonesia melalui perdagangan yang menggunakan sistem elektronik.
Namun, kebijakan tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pemerintah diwanti-wanti untuk menghitung berapa banyak penerimaan yang bisa diperoleh dari skema pemajakan PMSE.
Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional DJP Arnaldo Purba menekankan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi atas pemajakan digital.
"Baru-baru ini 134 negara telah bergabung pada 2 pilar yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari tantangan pajak digital khususnya bagi para perusahaan multinasional," ungkap Arnaldo dalam Virtual International Tax Conference 2021 bertajuk The New Era of Global Tax Transparency yang diselenggarakan IAI, Rabu (13/10/2021).
Proposal Pilar 1: Unified Approach sendiri mereformulasi peraturan pajak internasional. Pilar 1 Amount A memberi peluang bagi ndonesia selaku yurisdiksi pasar untuk memajaki penghasilan korporasi multinasional yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia meski tidak memiliki kehadiran fisik di sini.
Sementara Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) berfokus pada penerapan tarif pajak penghasilan minimum secara global untuk perusahaan. Indonesia juga berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan dari ketentuan pajak minimum global sebesar 15%.
Ketua Divisi Kebiijakan Pajak dan Statistik di OECD David Bradbury mengungkapkan bahwa kedua pilar menghasilkan sekitar US$150 miliar atau setara Rp2.100 triliun tambahan pendapatan pajak global per tahun
Sayangnya, menurut David, Indonesia diproyeksikan hanya menerima sedikit manfaat dari implementasi kedua pilar. Mengacu pilar 1 misalnya, parameternya dianggap terlalu tinggi bagi Indonesia. Proposal tersebut hanya berlaku untuk perusahama multinansional dengan omzet global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10 persen.
Apabila dari syarat pertama sudah tidak memenuhi, perusahaan tidak lagi dapat dikenakan pajak dengan skema Amount A. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perusahaan multinasional raksasa seperti Nintendo, eBay, dan MasterCard harus lepas dari genggaman pemajakan seperti pada konsensus.
Alasannya, laba atas perusahaan tersebut belum mencapai standar yang ditentukan. Oleh karenanya, negara sumber tidak memiliki kapasitas untuk memajaki perusahaan tersebut. (tradiva sandriana/sap)