KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Konsensus Global Disepakati, Indonesia Perlu Hitung Cermat Untung-Rugi

Redaksi DDTCNews | Kamis, 14 Oktober 2021 | 07:30 WIB
Konsensus Global Disepakati, Indonesia Perlu Hitung Cermat Untung-Rugi

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Indonesia dinilai sudah selangkah lebih maju melalui pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Melalui skema ini, pemerintah bisa memungut PPN atas pemanfaatan barang tidak berwujud maupun jasa dari luar Indonesia di dalam Indonesia melalui perdagangan yang menggunakan sistem elektronik.

Namun, kebijakan tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pemerintah diwanti-wanti untuk menghitung berapa banyak penerimaan yang bisa diperoleh dari skema pemajakan PMSE.

Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional DJP Arnaldo Purba menekankan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi atas pemajakan digital.

Baca Juga:
Jika Batalkan 2 Pilar OECD, UN Tax Convention Tak Akan Disahkan Eropa

"Baru-baru ini 134 negara telah bergabung pada 2 pilar yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari tantangan pajak digital khususnya bagi para perusahaan multinasional," ungkap Arnaldo dalam Virtual International Tax Conference 2021 bertajuk The New Era of Global Tax Transparency yang diselenggarakan IAI, Rabu (13/10/2021).

Proposal Pilar 1: Unified Approach sendiri mereformulasi peraturan pajak internasional. Pilar 1 Amount A memberi peluang bagi ndonesia selaku yurisdiksi pasar untuk memajaki penghasilan korporasi multinasional yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia meski tidak memiliki kehadiran fisik di sini.

Sementara Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) berfokus pada penerapan tarif pajak penghasilan minimum secara global untuk perusahaan. Indonesia juga berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan dari ketentuan pajak minimum global sebesar 15%.

Baca Juga:
Naikkan Tarif Pajak Penjualan, PM ini Yakin Dampak ke Inflasi Minim

Ketua Divisi Kebiijakan Pajak dan Statistik di OECD David Bradbury mengungkapkan bahwa kedua pilar menghasilkan sekitar US$150 miliar atau setara Rp2.100 triliun tambahan pendapatan pajak global per tahun

Sayangnya, menurut David, Indonesia diproyeksikan hanya menerima sedikit manfaat dari implementasi kedua pilar. Mengacu pilar 1 misalnya, parameternya dianggap terlalu tinggi bagi Indonesia. Proposal tersebut hanya berlaku untuk perusahama multinansional dengan omzet global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10 persen.

Apabila dari syarat pertama sudah tidak memenuhi, perusahaan tidak lagi dapat dikenakan pajak dengan skema Amount A. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perusahaan multinasional raksasa seperti Nintendo, eBay, dan MasterCard harus lepas dari genggaman pemajakan seperti pada konsensus.

Alasannya, laba atas perusahaan tersebut belum mencapai standar yang ditentukan. Oleh karenanya, negara sumber tidak memiliki kapasitas untuk memajaki perusahaan tersebut. (tradiva sandriana/sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

14 Oktober 2021 | 12:44 WIB

Langkah yang diambil oleh Indonesia tentunya memiliki banyak pertimbangan. sangat diharapkan langkah yang diambil bukanlah hal yang merugikan Indonesia.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Kamis, 28 Maret 2024 | 17:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Punya Reksadana dan Saham, Gimana Isi Harga Perolehan di SPT Tahunan?

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Cashback Jadi Objek Pajak Penghasilan? Begini Ketentuannya

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:47 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bansos Beras Hingga Akhir Tahun, Jokowi: Saya Usaha, Tapi Enggak Janji

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:31 WIB PENGAWASAN PAJAK

Data Konkret akan Daluwarsa, WP Berpotensi Di-SP2DK atau Diperiksa

Kamis, 28 Maret 2024 | 14:42 WIB PELAPORAN SPT TAHUNAN

Mau Pembetulan SPT Menyangkut Harta 5 Tahun Terakhir, Apakah Bisa?