INDONESIA memiliki populasi terbanyak ke-4 di dunia dan menempati posisi ke-10 ekonomi terbesar berdasarkan purchasing power parity (World Bank, 2023). Hal ini menunjukkan kuatnya potensi konsumsi domestik yang menjadikan Indonesia pasar strategis bagi perusahaan multinasional.
Untuk itu, tak sedikit perusahaan multinasional menanamkan investasinya di Indonesia bukan hanya berupa pabrik karena tenaga kerja murah, tetapi juga mencakup divisi penjualan, distribusi, dan pemasaran agar hasil produksi terserap pasar domestik secara optimal.
Dengan kata lain, Indonesia bukan hanya menjadi lokasi produksi, tetapi juga aset strategis berupa akses dan penguasaan pasar domestik.
Namun, dalam praktik bisnis di Indonesia, fungsi pemasaran sering kali diabaikan dalam penciptaan nilai ekonomis perusahaan. Padahal, menurut Survey CMO 2025, peran pemasaran telah berkembang menjadi inti strategi bisnis dalam membentuk dan memperkuat nilai merek global.
Pemasaran memiliki berbagai instrumen komunikasi yang kompleks, seperti iklan dan promosi, yang dapat membangun intangible asset karena berfokus pada peningkatan product knowledge dan brand awareness (Bronnenberg, 2022).
Survei tersebut juga menekankan perusahaan perlu membangun hubungan dengan konsumen melalui sistem manajemen yang memadai untuk mempertahankan merek. Relasi inilah yang dapat menjadi sumber harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi pemasaran (marketing intangible).
Akibat pengabaian aktivitas pemasaran itu, isu yang kemudian muncul bagi perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) di Indonesia ialah persoalan transfer pricing. MNE kerap kali menempatkan aset tidak berwujud, termasuk merek dagang (trademark), di negara rendah pajak sehingga pemilik legalnya memperoleh remunerasi lebih besar atas kepemilikan formal aset tersebut.
Di sisi lain, perusahaan di Indonesia yang secara substansi turut berkontribusi dalam penciptaan nilai aset justru tidak dihargai secara layak, hanya semata untuk meminimalkan pajak. Untuk itu, prinsip substance over form perlu ditegakkan.
Kewajaran alokasi laba antarnegara sepatutnya tidak hanya ditentukan dari dokumen legal pendaftaran aset, tetapi juga mempertimbangkan pihak yang berkontribusi dalam pengembangannya.
Dalam Transfer Pricing Guidelines 2022, OECD pun menekankan pentingnya analisis Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation (DEMPE) serta kontribusi terhadap value creation dan kontrol atas risiko sebagai dasar pemberian remunerasi yang memadai.
Indonesia sendiri telah mengadopsi analisis DEMPE melalui Peraturan Menteri Keuangan 172/2023, yang mewajibkan tahap pendahuluan tersebut dalam transaksi aset tidak berwujud. Sayang, belum ada panduan teknis penerapan yang praktis dalam menilai kontribusi fungsi.
Sejalan dengan hal itu, Kosan (2014) menyatakan marketing expenditure adalah investasi yang diharapkan meningkatkan performa organisasi, bukan sekadar cost-based expenditure. Ketika pengeluaran dipandang sebagai investasi, wajar apabila perusahaan mengharapkan pengembalian, baik langsung maupun tidak langsung, tangible maupun intangible.
Beberapa bentuk pengembalian tidak langsung dari biaya pemasaran antara lain market share, customer loyalty, dan brand awareness (Adeyemi & Esangbedo, 2023). Komponen-komponen ini memengaruhi valuasi brand name sehingga layak dimasukkan sebagai kontribusi DEMPE terkait dengan marketing intangible.
Perubahan ini makin relevan ketika melihat dinamika pemasaran global yang kian kompleks. Berdasarkan Industry Impact Survey 2024, sebanyak 71% profesional industri menyatakan lanskap media kini lebih terfragmentasi, dan 70% di antaranya mengakui makin sulit menjalin hubungan dengan konsumen.
Perkembangan teknologi, globalisasi, dan kebutuhan ekspresi diri yang makin personal menciptakan fragmentasi sosial berupa subkultur dengan identitas, nilai, dan preferensi unik. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi merek untuk membangun kedekatan dengan konsumen Indonesia (Modern Marketing Reckoner, 2024).
Ditambah lagi, pertumbuhan payroll share dan labor share manajer pemasaran masing-masing sebesar 86% dan 119% pada 2005–2019, mencerminkan peningkatan pentingnya manajemen merek dalam perusahaan. Pergeseran ini membuat fungsi pemasaran yang tadinya rutin berubah menjadi kontributor unik yang sangat potensial dalam penciptaan nilai tambah perusahaan.
Dengan konteks tersebut, OECD TP Guidelines menyatakan bahwa apabila terdapat kontribusi unik dan bernilai, perusahaan multinasional dapat menggunakan Profit Split Method (PSM) untuk menghitung alokasi laba yang wajar antar-entitas afiliasi. Indonesia dapat memanfaatkan metode ini sebagai alternatif untuk mempertahankan laba yang layak sehingga tidak digeser ke luar negeri.
Penciptaan nilai dari marketing intangible dapat dikategorikan unik dan bernilai meski tidak tercatat secara legal atau formal. Pembuktian nilai ini dapat dilakukan, misalnya, melalui dominasi penjualan ke pasar Indonesia, aktivitas lokal berupa layanan purna jual, penanganan garansi, adaptasi produk sesuai kebutuhan pasar, hingga beban promosi lokal yang berkontribusi terhadap pengakuan merek di Indonesia.
Walaupun strategi pemasaran ditetapkan oleh kantor pusat, entitas lokal tetap harus menyesuaikan dan melokalisasi strategi sesuai tren serta selera pasar domestik. Market appetite yang berbasis riset pasar dan sentimen konsumen inilah yang tidak dimiliki kantor pusat, tetapi justru diciptakan di Indonesia melalui fungsi pemasaran lokal.
Dengan penggunaan PSM, kontribusi unik Indonesia dalam fungsi pemasaran dapat tecermin secara lebih adil dalam alokasi laba. Untuk mengkuantifikasi kontribusi itu, game theory dan bargaining theory dapat menjadi instrumen penting dalam menentukan porsi yang wajar.
Tak hanya itu, intangible yang bernilai pun dapat diakomodasi dalam akuntansi sehingga pembagian laba benar-benar mencerminkan kontribusi nyata fungsi pemasaran terhadap penciptaan nilai, baik dalam industri maupun grup.
Oleh karena itu, kebijakan perpajakan Indonesia perlu dirancang lebih komprehensif agar mampu mengakomodasi penghargaan terhadap aset tidak berwujud yang tercipta dari kontribusi nyata, seperti hubungan dengan pelanggan maupun investasi pemasaran, bukan semata dari kepemilikan legal.
Pengakuan atas fungsi substantif ini akan memastikan alokasi laba yang lebih wajar sekaligus menegakkan prinsip substance over form. Dengan apresiasi yang adil, kontribusi perusahaan di Indonesia tetap dihargai meski kepemilikan formal aset berada di luar negeri, sekaligus mendorong investasi lokal yang menggerakkan perekonomian nasional.
Pada saat yang sama, Indonesia dapat menjaga hak pemajakan tanpa mengorbankan iklim investasi. Investor memperoleh kepastian hukum, negara mengamankan penerimaan yang layak, dan pengakuan atas marketing intangible yang tercipta di Indonesia akan memperkuat penciptaan nilai ekonomi domestik.
Hasil akhirnya: Indonesia tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus memastikan penerimaan pajak yang optimal.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.