"Transfer pricing is not an exact science."
Begitu yang tertulis dalam OECD Transfer Pricing Guidelines.
Benar bahwa transfer pricing bukan ilmu se-pasti matematika. Tidak ada skenario 1+1=2 di sana. Bukan karena transfer pricing itu keilmuan yang enggak jelas, tetapi karena transfer pricing sifatnya amat dinamis.
Pada dasarnya, transfer pricing berpedoman pada prinsip dan aturan (PKKU) yang selaras. Akan tetapi di tahap pemeriksaan, lazim terjadi perbedaan interpretasi terhadap fakta dan kondisi.
Dari pengalaman saya selama 30 tahun menjadi praktisi pajak, tahap pemeriksaan pajak memang momen paling krusial untuk menemukan kesepahaman. Di sinilah room for discussion-nya terjadi. Alhasil, kemampuan bernegosiasi menjadi relevan.
Namun bagi beberapa praktisi, hal ini justru menambah lapisan kerumitan: sudah transfer pricing-nya sudah bukan exact science, negosiasi itu sendiri pada dasarnya adalah seni bergelut dengan kemungkinan (the art of possibilities). Seakan-akan, tidak ada hal yang konkret untuk jadi pegangan atau pijakan.
Maka dari itu, rekomendasi United Nations (UN) yang tertuang dalam Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries (2021, poin 11.6.2.8, hal. 441), semakin relevan. Di sana, disebutkan bahwa soft skills, yang meliputi kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi, menjadi hal mendesak dikuasai praktisi pajak.
Tips dari saya, di banyak situasi, lebih membantu jika kita berpegang pada hal-hal yang sifatnya prinsipil (principles). Ini pengalaman terbaru saya yang memperkuat falsafah tersebut:
Sabtu (1/11/25) lalu, saya mengikuti pelatihan Find Your Funny: Intro to Clowning di Haque Centre of Acting & Creativity di Singapura. Mentornya Shanice Stanislaus, professional clown keturunan Singapura-Kanada.
Ia belajar acting dan clowning di Eropa di bawah bimbingan Philippe Gaulier —yang juga sempat mementori Sacha Baron Cohen alias Borat alias Aladeen 'The Dictator'— dan sejauh ini sudah punya sejumlah penghargaan atas karya serta pertunjukannya.
Di studio yang tak terlalu besar itu, cuma Shanice yang statusnya professional clown. Delapan partisipan di kelas itu paling banyak berprofesi sebagai pendidik dari berbagai jenjang. Di samping itu, ada juga pakar investasi dan pustakawan. Saya pun merasa lega karena bukan cuma saya yang profesinya 'serius banget'.
Kelas ini memang bukan bertujuan untuk mencetak pelawak apalagi badut. Namun di akhir sesi, semua peserta harus membuat sebuah pertunjukan badut (clown show).
Waduh?! Jujur, saat itu saya mulai deg-degan.
Untungnya, tidak ada tuntutan atau aturan yang membelenggu. Setiap peserta boleh mengonsep pertunjukannya sendiri, berapa lama durasinya, dan mau berperan sebagai apa.
Walaupun terasa seperti 'dijebak', saya pede bisa menyelesaikan tantangan itu karena Shanice membekali kami dengan hal yang saya sangat familiar: kerangka prinsipil.
Selama dua setengah jam, kami belajar dasar-dasar clowning, seperti menghiperbolakan gerak tubuh dan berpikir imajinatif (creative thinking). Kami juga belajar sejarah dan filosofi badut.
Ternyata, baik di pajak maupun clowning, hal-hal yang sifatnya prinsipil sangat penting.
Memasuki 30 menit terakhir dalam sesi workshop itu, seluruh peserta mulai mengenakan hidung merah (red nose). 'Topeng' khas badut ini ibarat sentuhan akhir supaya kami lebih total dalam beraksi —penguat principles yang sudah kami dapatkan tadi.
Akhirnya, momen itu tiba juga. Selama sekitar 5 menit, untuk pertama kalinya saya tampil sebagai badut dalam lakon parodi tempat kerja.

Bagi saya, pengalaman ini merupakan latihan untuk belajar aktif mendengar (active listening). Sebab, badut profesional ternyata harus sensitif dan berempati terhadap audiens maupun sesama penampil.
Namun yang paling membekas, saya kembali mendapat konfirmasi terkait apa yang sudah saya pegang selama bertahun-tahun sebagai praktisi pajak: daripada terlalu fokus menghafal detail aturan, pahami dan berpeganglah pada prinsip dasarnya.
Yang saya dapat dari clowning workshop ini akan menjadi salah satu pembaruan dalam materi Menghadapi Pemeriksaan serta Negosiasi Pajak dengan Kreativitas, Empati, dan Humor batch kedua.
Walaupun kuota kelas batch pertama yang diadakan bulan September 2025 lalu sudah terisi tujuh hari sebelum hari-H dan sudah ada 14 orang yang masuk waiting list supaya diprioritaskan saat batch selanjutnya dibuka, tidak lantas kuota pada batch kedua ini akan diperbanyak.
Sebab, kelas ini saya desain berkonsep practical. Artinya, semua peserta harus mendapat kesempatan untuk mencoba sebelum terjun ke lapangan nantinya.
Dalam pelatihan ini, saya akan mengajak Anda untuk:
mengenal power-play dan dinamika meja negosiasi;
memahami serta mempraktikkan humor affiliative untuk mencairkan ketegangan;
membaca situasi dan memahami do’s & don'ts humor dalam konteks pajak;
menggunakan humor sebagai sarana membangun kepercayaan dan empati; hingga
mengikuti simulasi negosiasi pajak dengan penerapan humor.
Seperti pada batch pertama, saya dan Ulwan Fakhri, S.S., M.I.Kom., CHP. (humor researcher dari Institut Humor Indonesia Kini & pemegang lisensi Certified Humor Professional) akan memfasilitasi Anda dengan:
latihan dengan format kartun: unik, inovatif, dan dikembangkan dari berbagai referensi, salah satunya Humor in Negotiations & ADR (ditulis oleh profesor University of Hawaii, John Barkai);
pre-assessment gaya humor (humor style) bagi setiap peserta, sehingga materi bisa diaplikasikan sesuai dengan karakteristik masing-masing individu; dan
umpan balik instan atas latihan dan praktik yang peserta lakukan di kelas.

Pelatihan ini akan diadakan secara tatap muka (offline) pada Kamis, 4 Desember 2025, pukul 09.30–15.30 WIB. Adapun lokasinya bertempat di Menara DDTC, Jakarta.
Anda dapat bergabung dalam pelatihan ini dengan mendaftarkan diri di academy.ddtc.co.id/practical-course.
Jangan terlewat, harga early bird hanya sampai 17 November 2025
Apabila Anda mengincar diskon tambahan, silakan hubungi WhatsApp Hotline DDTC Academy 0812-8393-5151 (Minda), email [email protected], atau melalui akun Instagram DDTC Academy (@ddtcacademy)*. (sap)
