LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Eksplorasi Sumber Pajak Baru dari Ekonomi Biru

Redaksi DDTCNews
Jumat, 13 September 2024 | 13.34 WIB
ddtc-loaderEksplorasi Sumber Pajak Baru dari Ekonomi Biru

Ika Hapsari,

Kota Semarang – Jawa Tengah

EKONOMI biru (blue economy) diproyeksikan menjadi masa depan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi pada era Indonesia Emas 2045. Potensi bahari Indonesia yang luas berpeluang melahirkan profitabilitas pada setiap rantai aktivitas ekonomi. Tak pelak, penerimaan dari sektor pajak pun dapat ikut terdongkrak karena kemunculan basis pemajakan baru.

Diuntungkan sebagai negara kepulauan, pada 2030, implementasi ekonomi biru di Indonesia dapat mengerek nilai tambah mencapai US$30 juta, mencetak investasi kelautan senilai US$15,5 triliun, dan membuka 12 juta lapangan pekerjaan (Kementerian PPN/Bappenas, 2023).

Terlebih, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara penghasil perikanan terbesar di dunia dengan volume produksi mencapai 24,74 juta metrik ton (Kementerian KKP, 2023). Angka ini setara dengan US$29,6 miliar atau sekitar 2,6% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Sumber daya kelautan pun menyediakan sumber pangan, energi bersih terbarukan (EBT), potensi pariwisata, transportasi air, dan perkapalan, serta ekonomi kerakyatan di pesisir.

Daur transaksi ekonomi kelautan itu diyakini mampu menciptakan multiplier effect yang masif guna menaikkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, penyelarasan kebijakan pajak di tingkat pusat dan daerah yang adekuat serta inklusif dapat menavigasi misi besar menuju pulau harapan tersebut.

Eksplorasi Pemajakan

Pemerintahan baru sudah sepatutnya memiliki strategi visioner dalam mendulang potensi pajak dari ekonomi biru. Momentum krusial pada awal masa jabatan harus dimanfaatkan dengan merumuskan gagasan sistemik tentang cara agar potensi pajak biru dapat dijaring multisektoral.

Setidaknya tiga opsi kebijakan yang dapat dieksplorasi untuk mengoptimalkan potensi pajak dari ekonomi biru. Pertama, harmonisasi mekanisme pemungutan pajak pusat dan daerah. Kondisi existing saat ini, masing-masing pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan pajak di bawah payung peraturan daerah.

Atas prinsip itulah, tarif pajak yang dikenakan antardaerah cukup variatif. Demikian halnya dengan ragam inovasi dalam mekanisme pemungutan, baik konvensional ataupun digital. Informasi seputar pajak daerah tertentu juga harus diakses melalui portal yang berbeda-beda.

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas penghimpun pajak pusat memiliki platform tersendiri dalam administrasi pajak. Oleh sebab itu, coretax administration system (CTAS) kelak dapat menjadi sarana yang mangkus untuk menjembatani disparitas tersebut.

Sektor pariwisata bahari dapat menjadi pilot project dalam konsep ini. Pelaku usaha jasa perhotelan dan penyedia akomodasi misalnya, adalah wajib pajak yang dimungkinkan mendapat pengenaan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT)– Pasal 53 Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) – serta pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau badan sesuai UU PPh

Dengan adanya CTAS, proses pelaporan peredaran usaha dan pengenaan pajak dapat dilakukan dalam satu media. Ditilik dari sisi pengguna jasa, inisiatif layanan digital terintegrasi ini tentu memudahkan wajib pajak.

Sementara dari sudut pandang kedua otoritas pajak, penyandingan dan pembuktian data di wilayah tertentu menjadi lebih terukur. Kebijakan ini juga dapat mencegah penghindaran pajak dan mengurangi cost of compliance atas sanksi denda yang harus dibayar wajib pajak karena kealpaannya.

Prosedur ini juga dapat menjadi pertimbangan dalam memitigasi pengenaan pajak berganda atas objek pajak yang sama. Sebagai hasilnya, big data ini juga menjadi feeding penting bagi DJP dalam melaksanakan kegiatan ekstensifikasi berbasis wider revenue activity.

Kedua, kebijakan pajak futuristik demi kelestarian lingkungan. Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Ribuan ton sampah plastik dibuang di laut setiap tahunnya. Pajak atas pencemaran laut dan perusakan terumbu karang adalah opsi revolusioner yang terdengar ekstrem. Namun, solusi ini dapat menimbulkan deterrent effect sehingga ada pengurangan dampak eksternalitas akibat akselerasi pemanasan global.

Pasalnya, luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi dan memiliki ekosistem terumbu karang terluas di dunia (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2024). Kebijakan pengenaan pajak atas sampah dan limbah laut dapat menjadi pendukung dari implementasi pajak karbon yang dimulai pada 2025.

Sejalan dengan hal tersebut, investasi pada EBT dan eksploitasi energi laut akan mendatangkan keuntungan signifikan. Ekonomi biru digadang-gadang berperan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 20% pada 2030.

Artinya, industri EBT akan berkembang pesat menuju visi net zero emission Indonesia pada 2060. Pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pemotongan PPh dari kegiatan manufaktur, ekspor-impor, dan penyerahan barang/jasa terkait wajib dimaksimalkan.

Ketiga, pemberdayaan masyarakat pesisir. Menyandang gelar sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ketiga di dunia, peranan pesisir sangat esensial. Sebanyak 70% masyarakat Indonesia hidup di pesisir (World Bank, 2015).

DJP dapat mengaktivasi program business development service (BDS) lewat kerja sama dengan instansi atau kementerian/lembaga terkait, kelompok-kelompok nelayan, industri perikanan, dan koperasi. Melalui program ini, DJP dapat mengumpulkan data dan informasi seputar proses bisnis wajib pajak ataupun calon wajib pajak potensial.

Sebagai contoh, DJP dapat memanfaatkan teknologi internet of things (IoT) bagi pelaku usaha budidaya perikanan. Melalui setting perangkat fisik yang terhubung internet ini, fiskus dapat memperoleh informasi total frekuensi produksi yang sesungguhnya. Hasilnya, dengan pendekatan net profit margin (NPM) dan biaya produksi bagi usaha perikanan, account representative dapat mengetahui peredaran usaha untuk menentukan pajak terutang.

Pada akhirnya, hanya dengan kebijakan pajak yang adaptif dan inovatif, belanja negara di bidang konservasi hayati, pelestarian tradisi, dan pemenuhan nutrisi dapat dipenuhi. Majunya ekonomi biru sudah selayaknya menjadi representasi kejayaan samudra Nusantara. Kendati pondasi baru, potensi pajak dari ‘sang biru’ mampu mengantarkan Indonesia menuju pelabuhan cita, menjadi poros maritim dunia.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.