Miko Danang Setyawan,
ISU polusi akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan. Dari kalangan pejabat istana sampai rakyat yang tiap hari bergelut ria di jalanan ibu kota, semua sibuk bercerita. Dari analis lingkungan sampai analis tongkrongan tidak lepas dari berita dan ragam solusinya.
Alhasil, ada banyak usulan cara penanggulangan polusi dari berbagai pihak. Mulai dari yang mudah dilakukan, seperti memakai masker, bekerja dari rumah, menggunakan transportasi umum, hingga hal besar yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, seperti penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Usulan lainnya, dorongan percepatan transisi kendaraan listrik ataupun sekadar solusi jangka pendek seperti mekanisme hujan buatan.
Dari sekian banyak usulan, ada satu yang cukup menggelitik. Seorang anggota parlemen dengan lantang bersuara, "Untuk mengatasi polusi, jumlah kendaraan bermotor sangat mendesak untuk dibatasi melalui berbagai cara, antara lain menaikkan tarif tol dan pajak kendaraan roda dua."
Entah mengapa anggota dewan itu hanya menyebut kendaraan roda dua. Barangkali agar kalau kebijakan itu benar diimplementasikan, pengendara roda empat tak kena imbasnya. Usulan ini terlihat pintar tapi menjengkelkan, terlebih bagi warga sekitar ibu kota yang setiap hari mesti ke kantor.
Mungkin ada yang kemudian berkata, makanya pakai transportasi umum, dong! Jujur saya sudah pernah mencobanya. Hasilnya, baju lecek, aroma tidak sedap, sambung ojek mahal, dan malah satu jam lebih lama di perjalanan.
Usulan untuk menaikkan pajak kendaraan roda dua lantas ditimpali dengan wacana pengenaan pajak pencemaran lingkungan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar (DDTCNews). Menurutnya, pajak pencemaran lingkungan adalah pajak yang akan dikenakan terhadap kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi.
Niatnya terdengar baik untuk mengurangi emisi karbon. Namun, pengenaan pajak ini jelas akan menambah beban masyarakat. Jika benar diimplementasikan, ada risiko muncul pandangan negatif dari masyarakat terhadap pemungutan pajak. Jadi, masalahnya polusi, kenapa mesti bawa-bawa pajak lagi?
Fungsi Pajak
Kita memahami sejumlah solusi yang disodorkan anggota parlemen dan Menteri LHK bertujuan meredam polusi udara. Dalam teori perpajakan, fungsi pajak memang ada empat. Dua di antaranya sangat populer. Dua fungsi tersebut menurut Mardiasmo (2019), yakni fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend). Pengenaan pajak untuk mengatasi polusi di atas dimaksudkan agar pajak dapat mengatur jumlah kendaraan bermotor dan emisi gas buangnya. Namun, benarkah pajak efektif untuk mengatur kondisi sosial ekonomi masyarakat?
Ada sejumlah fakta menarik. Dalam 10 tahun terakhir (2012–2022) tarif cukai rokok telah naik 108,6% dengan rata-rata kenaikan 10,8% setiap tahunnya (GoodStats, 2022). Di sisi lain, Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 mengungkap bahwa dalam 10 tahun (2011–2021) jumlah perokok dewasa di Indonesia meningkat sebanyak 8,8 juta orang, dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta perokok.
Artinya, kebijakan cukai rokok yang bertujuan agar harga rokok makin tidak terjangkau sehingga angka konsumsi rokok akan menurun tidak tercapai. Buktinya, perokok tidak berhenti merokok walaupun harga rokok naik 10% atau 11% karena rokok sudah menjadi kebutuhannya.
Satu-satunya alasan perokok mau berhenti merokok mungkin hanya bila menyangkut nyawa. Ingat ungkapan terkenal dari Benjamin Franklin" "Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak." Sepertinya dalam perkara rokok, pajak tidak cukup setara dengan kematian.
Bak pinang dibelah dua, pengenaan tambahan pajak kendaraan bermotor tampaknya hanya akan bernasib sama. Hal itu, berdasarkan kebijakan serupa, tidak akan mengurangi jumlah kendaraan bermotor. Berangkat dan pulang kantor sudah menjadi kebutuhan bagi para pekerja di kota satelit. Dengan moda transportasi umum saat ini yang belum mumpuni, kendaraan pribadi masih jadi salah satu opsi yang baik.
Berdasarkan fakta ini, pajak kendaraan bermotor dan cukai rokok berpotensi tidak efektif menjalankan tugasnya, kecuali jika ternyata tugas sebenarnya dari pengenaan kedua pajak itu memang untuk fungsi budgetair tapi narasinya regulerend.
Pemerintah mendengar suara rakyat
Setelah adanya berbagai masukan, pemerintah akhirnya (per tulisan ini dibuat) memutuskan sejumlah kebijakan untuk mengatasi polusi, khususnya di Jakarta. Dalam rapat terbatas 14 Agustus 2023, Jokowi menginstruksikan bawahannya untuk memodifikasi cuaca, mengurangi PLTU batu bara, mengatur pembagian jam kerja, mendorong penggunaan transportasi publik, dan mempercepat elektrifikasi kendaraan. Instruksi ini rasanya mengamini mayoritas suara rakyat. Suara rakyat yang diwakilkan di kolom komentar media sosial tepatnya, bukan yang di gedung parlemen tadi.
Kebijakan pemerintah tersebut patut diapresiasi. Solusi ini jelas lebih realistis dibanding menaikkan pajak kendaraan bermotor roda dua. Jikalau memang terpaksa harus bawa-bawa pajak, kebijakan yang lebih tepat justru implementasi pajak karbon. Pajak karbon bersifat lebih menyeluruh. Pajak karbon dikenakan terhadap orang pribadi atau badan baik yang membeli maupun menghasilkan emisi karbon.
Hal ini lebih bagus dibanding pajak kendaraan bermotor. Toh, kalau seandainya pajak karbon itu nantinya tidak terlalu signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca, setidaknya yang dipajaki bukan hanya rakyat kebanyakan seperti pajak kendaraan bermotor, melainkan lebih banyak pengusaha-pengusaha batu bara kelas kakap.
Lagi pula, pajak karbon sudah ada payung hukumnya, yakni UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, penerapannya masih ditunda sampai dengan 2025. Oleh sebab itu, siapapun calon pemimpin yang akan bertarung di 2024 nanti, pajak karbon bisa menjadi satu isu yang seksi untuk dibahas.
Akhirnya, apa kesimpulannya? Masih ada banyak solusi penanganan polusi. PLTU batu bara jelas harus diganti. Transportasi publik perlu dibenahi. Di zaman digital begini, solusi bekerja dari rumah pun bisa menjadi opsi. Selain itu semua, masih banyak solusi-solusi lainnya lagi.
Lantas, kenapa harus pajak lagi? Pajak biarlah fokus pada tugas mengumpulkan penerimaan negara, tidak usah dibebani mengatasi masalah polusi segala.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.