Prof. Adrianto Dwi Nugroho saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu hukum pajak perusahaan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (12/6/2025).
YOGYAKARTA, DDTCNews - Prof. Adrianto Dwi Nugroho, S.H., Adv LLM, LL.D., resmi diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bidang ilmu hukum pajak perusahaan.
Adrianto menjadi salah satu dari 532 guru besar aktif yang dimiliki UGM saat ini. Di tingkat fakultas, dirinya juga menjadi salah satu dari 15 guru besar aktif di lingkungan Fakultas Hukum UGM.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, pria berusia 42 tahun ini mengangkat judul 'Pajak Minimum Global dalam Teori Keadilan John Rawls'. Pajak minimum global menjadi subjek yang menarik untuk diulas lantaran konsensus teraktual yang diusung oleh OECD tersebut bertujuan menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan.
Pada hakikatnya, Adrianto menyampaikan, pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) ingin memastikan perusahaan multinasional membayar porsi kewajiban perpajakan yang adil.
Melalui kebijakan ini, PPh badan yang terutang pada sebuah perusahaan multinasional yang memenuhi syarat tertentu ditetapkan minimal 15% dari penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE Rules).
Adrianto lantas mengutip pernyataan sejumlah tokoh, termasuk Darussalam (2025) yang menyinggung komplekstitas penerapan pajak minimum global. Hal ini tentu membuat implementasi pajak minimum global menyisakan banyak tantangan, termasuk apakah bisa menjawab pertanyaan besar mengenai terpenuhinya aspek keadilan.
Terlepas dari dinamika ekonomi politik yang menyelimuti pajak minimum global, Adrianto menilai penting bagi publik untuk mengevaluasi esensi dari kebijakan tersebut. Apakah bisa menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan?
Adrianto menggunakan teori keadilan yang dipostulatkan oleh John Rawls sebagai pisau analisis terhadap pemenuhan aspek keadilan dalam pajak minimum global. Menurutnya, teori Rawls dapat memberikan perspektif moral yang mengedepankan kebebasan.
"Teori-teori keadilan dapat menjadi batu uji dalam menelaah pajak minimum global, khususnya yang menyasar laba usaha yang diperoleh badan," ujar Adrianto dalam pidatonya.
Menurutnya, narasi ketidakadilan yang disebabkan oleh hilangnya pendapatan negara akibat ketidakmampuan hukum pajak dalam mengenakan PPh atas laba usaha dari perusahaan multinasional sering kali diajukan OECD sebagai alasan untuk mereformasi tatanan perpajakan internasional.
"Untuk mengimbanginya, berbagai kebijakan yang disusun OECD perlu ditelaah dengan teori keadilan agar kebijakan yang dibuat bisa membangun kepatuhan sukarela dari perusahaan multinasional," kata Adrianto.
Pada prinsipnya, berdasarkan analisis yang disampaikan Adrianto, kebijakan pajak minimum global telah sesuai dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Pengenaan top up tax terhadap perusahaan multinasional yang membayar PPh badan di bawah tarif minimum 15% menanggung beban yang sama.
Selain itu, tambahan penerimaan negara dalam bentuk top up tax memungkinkan negara melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan minimum bagi setiap orang yang berdomisili di wilayahnya.
"Walaupun pajak minimum global merupakan bentuk intervensi terhadap pengaturan pajak domestik, namun pengenaannya merupakan upaya kolektif untuk mengakhiri harmful tax competition," kata Adrianto. (sap)