Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Penerimaan yang bersumber dari pajak karbon sebaiknya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan.
Hal tersebut terlihat dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 23 September - 11 Oktober 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 84% menyatakan setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon.
Dari 239 pengisi survei tersebut, 78,4% memilih investasi pengembangan energi terbarukan atau green energy atau eco friendly sebagai pos pengalokasian penerimaan yang bersumber dari pengenaan pajak karbon. Data ini sejalan dengan beberapa komentar peserta dalam kolom debat.
Salah satunya adalah Wahyuni Lestari. Dia mengatakan pajak karbon yang diterima pemerintah tersebut bukan ditujukan sebagai sumber penerimaan negara yang baru. Penerimaan itu seharusnya dialokasikan untuk memitigasi beberapa dampak dari emisi karbon.
“Uang dari pajak karbon tersebut harus digunakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya demi menpertahankan keberlanjutan Indonesia,” ujarnya.
Zulfahmi mengatakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan pajak karbon adalah pengalokasian penerimaannya. Hal ini serupa dengan pajak rokok yang mengalokasikan (earmark) minimal 50% dari penerimaannya untuk mendanai kesehatan masyarakat.
“Hal tersebut juga harus diterapkan terhadap pajak karbon dengan penyesuaian tertentu,” kata Zulfahmi.
Seperti diketahui, dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan hanya disebutkan penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Katarina Ekoliawati Sinaga juga berpendapat penerimaan dari pajak karbon seharusnya untuk pembangunan ruang hijau yang berkelanjutan. Terkait dengan tarif, menurutnya, perlu dilakukan survei dan uji coba terlebih dahulu.
Dari survei tersebut, sebanyak 45,3% responden berpendapat tarif yang ideal untuk awal pengenaan pajak karbon adalah kurang dari Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Nilai Rp75 merupakan usulan awal pemerintah dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Annisa Diah Hapsari tidak mempermasalahkan tarifnya dimulai level yang rendah terlebih dahulu. Kenaikan secara bertahap dapat ditempuh sembari melakukan evaluasi pada berbagai aspek kebijakan pajak karbon.
Salomo Depy meminta pemerintah untuk memikirkan tarif ideal pada awal pengenaan pajak karbon. Besaran tarif harus mempertimbangkan aspek peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan kelestarian lingkungan.
Sebagai informasi kembali, Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Terkait dengan dasar pengenaan pajak (DPP), sebanyak 74,1% responden memilih emisi karbon yang dikeluarkan. Selain itu, sebanyak 14,4% responden memilih input bahan bakar fosil sebagai DPP untuk pajak karbon.
Dalam UU HPP disebutkan ketentuan mengenai DPP diatur dengan peraturan menteri keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP. (kaw)