HASIL SURVEI PAJAK KARBON

Ada Pajak Karbon, Mayoritas Pengisi Survei Bakal Kurangi Konsumsi Ini

Redaksi DDTCNews
Senin, 18 Oktober 2021 | 14.15 WIB
Ada Pajak Karbon, Mayoritas Pengisi Survei Bakal Kurangi Konsumsi Ini

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Pengenaan pajak karbon diyakini akan dapat menurunkan konsumsi atas produk bahan bakar fosil.

Hal tersebut terlihat dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 23 September - 11 Oktober 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 84% menyatakan setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon.

Dari 239 pengisi survei tersebut, sebanyak 74,9% setuju dan sangat setuju pajak karbon dapat menurunkan konsumsi atas produk bahan bakar fosil. Data ini sejalan dengan beberapa komentar peserta dalam kolom debat.

Seperti komentar Nadia Fahira yang mengatakan adanya pajak karbon dapat membantu Indonesia untuk fokus dalam green economy. Pemakaian bahan bakar yang menghasilkan gas karbon dapat berkurang dan mendorong masyarakat berinovasi menciptakan bahan bakar ramah lingkungan.

“Pajak karbon dapat sebagai pendapatan negara yang selain masuk ke APBN, dapat sebagai sumber dana untuk menfasilitasi penciptaan bahan bakar ramah lingkungan dan inovasi green economy,” ujarnya.

Menurut Devi Yanty, pajak karbon akan mendorong produsen untuk beralih ke sumber energi ramah yang lingkungan. Namun, implementasinya akan menjadi tantangan tersendiri. Di Swedia, yang telah menerapkan pajak karbon sejak 1991, ada skema tahapan implementasi.

Penerapan pajak karbon di Swedia juga menjadi bagian dari reformasi pajak. Tarif dinaikkan secara bertahap sehingga setiap elemen dapat menyesuaikan. Dalam studi kasus Swedia ini, kepercayaan terhadap pemerintah menjadi aspek yang paling penting dalam penerapan pajak karbon.

Dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap. Pertama, pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon.

Kedua, pada 2022—2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Ketiga, pada 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor terkait.

Berdasarkan pada survei tersebut, sebanyak 77% responden juga menyatakan akan mengurangi konsumsi produk bahan bakar fosil jika pajak karbon sudah resmi diimplementasikan.

Francisca berpendapat pengenaan pajak karbon sebagai salah satu upaya untuk melindungi bumi dari gas-gas yang berbahaya. Hal ini dikarenakan masyarakat akan berpikir ulang jika menggunakan produk-produk penghasil karbon.

“Ini membawa peluang masyarakat untuk berpikir kreatif dan inovatif untuk menciptakan produk sejenis yang lebih ramah lingkungan,” katanya.

Kelvin Adi Winata mengatakan banyak masyarakat akan memilih bahan bakar yang lebih eco friendly. Namun, menurutnya, pengenaan pajak karbon harus disesuaikan lagi antara tarif dengan harga perolehan bahan bakar CO2 dan bahan bakar jenis lain.

“Harga bahan bakar selain yang menghasilkan CO2 harus disesuaikan supaya masyarakat mau peduli terhadap lingkungan,” katanya.

Sebagai informasi kembali, Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.