BERKEMBANGNYA sektor pariwisata tidak hanya meningkatkan jumlah hotel dan potensi pajaknya seperti yang disebutkan pada artikel sebelumnya. Di setiap lokasi pariwisata biasanya juga terdapat berbagai restoran yang menjadi rujukan wisatawan sehingga menambah potensi penerimaan daerah dari pajak restoran.
Tidak sedikit masyarakat menganggap pajak yang dipungut atau tertera dalam struk saat makan di restoran adalah pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, sebenarnya, pajak yang dipungut tersebut adalah pajak restoran. Perbedaan pemahaman ini terjadi karena istilah pajak restoran atau PB-1 kurang populer dibandingkan dengan PPN.
Untuk itu, dalam artikel ini diuraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pajak restoran dan bagaimana ketentuannya sebagai salah satu jenis pajak daerah. Aturan pemungutan pajak restoran sendiri telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Dalam UU PDRD, pajak restoran diartikan sebagai pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran ialah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU PDRD, pelayanan yang disediakan oleh restoran menjadi objek pajak restoran. Pelayanan yang disediakan restoran meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dengan nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Merujuk pada Pasal 38 ayat (1) UU PDRD, orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran merupakan subjek pajak restoran. Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran. Dalam hal ini, konsumen atau pembeli makanan dan/atau minuman memiliki kewajiban untuk membayar pajak, tetapi pemilik restoran yang akan menyetor dan melaporkan pajak restoran ke kas daerah.
Dalam pemungutan pajak restoran, penetapan tarif pajak akan dilakukan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Namun, dalam Pasal 40 ayat (1) UU PDRD telah memberikan batasan maksimum tarif pajak restoran sebesar 10%. Dengan demikian, pemerintah daerah kabupaten/kota tidak boleh memungut pajak restoran lebih tinggi dari besaran yang telah ditentukan dalam UU PDRD. Berikut contoh perbandingan tarif pajak restoran di lima kabupaten/kota.
Pengenaan pajak restoran berdasarkan jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Jumlah pembayaran yang dimaksud termasuk jumlah pembayaran setelah potongan harga dan jumlah pembelian dengan menggunakan voucer makanan atau minuman. Jumlah pembayaran yang seharusnya diterima restoran merupakan harga jual makanan atau minuman dalam voucer atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma.
Besaran pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Pajak restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat restoran berlokasi. Masa pajak dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak restoran yang terutang dilakukan dalam jangka waktu satu bulan kalender.
Perlu diketahui, pemerintah kabupaten/kota juga memiliki kewenangan untuk menetapkan tata cara pemungutan, pelaporan, pembayaran, maupun pemberian insentif pajak restoran.*