KINERJA 2023

DJBC Sebut Penerapan Prinsip Ultimum Remedium Cukai Rokok Belum Banyak

Dian Kurniati
Rabu, 24 Januari 2024 | 12.30 WIB
DJBC Sebut Penerapan Prinsip Ultimum Remedium Cukai Rokok Belum Banyak

Ilustrasi. Pekerja menunjukkan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (4/1/2024). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/aww.

JAKARTA, DDTCNews – Penerapan prinsip ultimum remedium dalam penindakan atas pelanggaran cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 masih belum banyak.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan belum banyak pelaku pelanggaran di bidang cukai, khususnya CHT, yang memanfaatkan ultimum remedium.

“Penindakan CHT sepanjang 2023, penggunaan ultimum remedium baru mencapai 6% dari total penindakan," katanya, dikutip pada Rabu (24/1/2024).

Adapun pada 2023, otoritas telah melakukan 22.042 penindakan terhadap CHT. Dari jumlah tersebut, DJBC mencatat sebanyak 892,2 juta batang rokok sebagai barang hasil penindakan. Jumlah barang hasil penindakan itu naik dari catatan tahun sebelumnya 574,4 juta batang rokok.

Kendati masih belum optimal, penerapan prinsip ultimum remedium pada 2023 telah berpengaruh pada peningkatan realisasi denda administratif cukai. Adapun realisasi denda administratif cukai pada 2023 tercatat senilai Rp100 miliar.

Nilai realisasi denda administratif cukai itu tumbuh 142,02% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sekitar Rp40 miliar. Dari jumlah realisasi denda administratif cukai pada 2023 tersebut, sebanyak Rp70 miliar dikarenakan penerapan prinsip ultimum remedium.

Seperti diketahui, dalam UU Cukai yang direvisi dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dimuat prinsip ultimum remedium. UU HPP juga mengatur penyesuaian sanksi administratif dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.

Pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Jika hasil penelitian menunjukkan pelanggaran yang dimaksud bersifat pelanggaran administratif di bidang cukai, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pembayaran sanksi administrasi.

Penelitian atas dugaan pelanggaran hanya dibatasi pada 5 pasal, yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelimanya menyangkut pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai (BKC), BKC tidak dikemas, BKC yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.

Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.

Adapun terkait dengan ketentuan teknis penerapan prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penelitian, Kemenkeu telah menerbitkan PMK 237/2022. Simak ‘Kemenkeu Resmi Tetapkan Ketentuan Teknis Ultimum Remedium Cukai’.

Tahap Penyidikan

Kemudian, perubahan juga berlaku untuk Pasal 64 UU Cukai yang terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Dalam ketentuan sebelumnya, penghentian penyidikan mewajibkan pembayaran pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.

Namun, melalui UU HPP, ketentuan tersebut diubah. Pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Sebagai peraturan pelaksana terkait dengan penerapan ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penyidikan, telah diterbitkan PP 54/2023 dan PMK 165/2023. Simak ‘PMK Baru Terbit, Soal Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Cukai’. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.