Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion berpandangan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya mengabulkan pengujian formil yang diajukan pemohon atas UU 6/2023 perihal Penetapan Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams berpandangan pembentukan UU 6/2023 secara nyata bertentangan dengan Pasal 22 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta perintah MK dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"Saya berpendapat MK seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tulis Adams sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023, dikutip Selasa (3/10/2023).
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpandangan presiden dan DPR seharusnya memperhatikan prinsip partisipasi yang bermakna atau meaningful participation sesuai dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Namun, presiden justru mengambil langkah menetapkan Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja dan tidak melibatkan publik dalam merumuskan perpu tersebut. Hal ini jelas-jelas bukan merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
"Apabila penerbitan perpu diterima dan dinilai sebagai tindak lanjut putusan a quo, maka sangat dikhawatirkan di kemudian hari praktik ini akan menjadi preseden buruk dengan maraknya penerbitan perpu yang lahir dari tindak lanjut putusan MK sekadar untuk mempercepat pembentukan dan perbaikan dari suatu undang-undang tanpa melibatkan DPR," tulis Saldi dan Enny.
Saldi dan Enny berpandangan MK seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon mengingat presiden membentuk produk hukum yang berbeda dari yang diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Terakhir, Hakim Konstitusi Suhartoyo berpandangan langkah pembentuk undang-undang untuk membentuk perpu dan mengesahkannya lewat UU 6/2023 guna memenuhi amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 justru adalah bentuk ketidakpatuhan atas perintah dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Suhartoyo, MK seharusnya mengeluarkan provisi guna memerintahkan kepada presiden dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk memenuhi amat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Untuk diketahui, MK sebelumnya menyatakan pengujian formil atas UU 6/2023 tidak beralasan menurut hukum sehingga undang-undang tersebut tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dari total 9 hakim konstitusi di MK, 5 hakim konstitusi tidak mengabulkan permohonan pengujian formil para pemohon yakni Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat. (sap)