BERITA PAJAK HARI INI

Dirjen Pajak: Tidak Ada Perpanjangan Waktu, Lebih Murah Ikut PPS

Redaksi DDTCNews | Selasa, 28 Juni 2022 | 08:14 WIB
Dirjen Pajak: Tidak Ada Perpanjangan Waktu, Lebih Murah Ikut PPS

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Dirjen Pajak Suryo Utomo mengingatkan wajib pajak untuk segera memanfaatkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir 2 hari lagi, tepatnya pada 30 Juni 2022. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (28/6/2022).

Suryo mengatakan waktu berlakunya program yang menjadi amanat UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini tidak akan diperpanjang. Untuk mengantisipasi membeludaknya keikutsertaan wajib pajak, DJP menambah kapasitas server.

"Semua kan sistem online. Kami akan jagain sampai ke detik terakhir," katanya.

Baca Juga:
Anggota DPR Ini Usul Insentif Pajak untuk Warga yang Adopsi Hewan Liar

Sebagai informasi kembali, terdapat 2 skema kebijakan pada PPS yang berlaku hingga akhir bulan ini. Skema kebijakan I untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.

Sementara itu, skema kebijakan II PPS dapat diikuti wajib pajak orang pribadi yang ingin mengungkap harta perolehan 2016—2020, masih dimiliki pada 31 Desember 2020, dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2020.

Selain mengenai PPS, masih ada pula bahasan terkait penundaan implementasi pajak karbon. Kemudian, ada bahasan tentang penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi dan kinerja restitusi pajak.

Baca Juga:
Punya Reksadana dan Saham, Gimana Isi Harga Perolehan di SPT Tahunan?

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Pilihan bagi Wajib Pajak

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan PPS bersifat sukarela, sehingga wajib pajak mempunyai pilihan untuk mengikuti atau tidak. Kendati demikian, menurutnya, ada risiko pembayaran pajak dan sanksi yang lebih besar jika pada masa mendatang ditemukan data harta yang belum dilaporkan.

"Menurut saya, kalau kita hitung-hitung dagang, jauh lebih murah kalau ikut PPS daripada nanti ketahuan kita kenakan sanksi yang lebih tinggi. Bayar pajaknya juga lebih tinggi," ujarnya.

Suryo menambahkan kemungkinan DJP menemukan harta yang tidak dilaporkan sudah makin besar. Pasalnya, saat ini DJP dapat memanfaatkan data dari skema automatic exchange of information (AEoI) serta dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). (DDTCNews/Kontan)

Baca Juga:
Cara Dapatkan Bukti Potong Pajak Bunga Tabungan dari Bank CIMB Niaga

Antisipasi Kenaikan Jumlah Wajib Pajak Peserta PPS

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan DJP mengantisipasi kenaikan pengakses aplikasi untuk mengikuti PPS. Beberapa langkah yang dilakukan di antaranya menambah server, mengoptimalkan kapasitas bandwidth, dan menyiagakan petugas.

DJP juga bersiap pula untuk memitigasi keadaan kahar atau force majeure. Menurutnya, DJP telah memiliki protokol untuk mengatasi kejadian yang luar biasa. "Kalaupun toh ada misalnya, mudah-mudahan enggak, tiba-tiba sistem saya crash, saya pakai protokol kahar," ujarnya. (DDTCNews)

Risiko Ikut Kebijakan II PPS tapi Tidak Ungkap Seluruh Harta

DJP mengingatkan kembali mengenai risiko yang muncul jika wajib pajak mengikuti skema kebijakan II PPS tetapi tidak melaporkan seluruh hartanya. Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso mengatakan jika otoritas menemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkap, harta itu diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada tahun pajak 2022.

Baca Juga:
Cashback Jadi Objek Pajak Penghasilan? Begini Ketentuannya

“Terhadap penghasilan tersebut dikenai PPh yang bersifat final sebesar 30% dan sanksi bunga Pasal 13 ayat (2) UU KUP,” ujarnya.

Karena diperlakukan sebagai penghasilan pada tahun pajak 2022, sambung Giyarso, DJP mempunyai kesempatan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam jangka waktu 5 tahun setelahnya atau hingga 2027. (DDTCNews)

Implementasi Pajak Karbon

Pemerintah akan berhati-hati dalam mengimplementasikan pajak karbon. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerapan pajak karbon memerlukan timing yang tepat, sehingga tidak berdampak negatif terhadap perekonomian.

Baca Juga:
Data Konkret akan Daluwarsa, WP Berpotensi Di-SP2DK atau Diperiksa

"Kalau lihat gejolak di sektor energi sekarang ini, kita harus calculated mengenai penerapannya agar tetap positif untuk ekonomi kita sendiri, terutama untuk nanti diversifikasi energi," katanya. Simak ‘Sri Mulyani Sebut Implementasi Pajak Karbon Perlu Timing yang Tepat’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Implementasi NIK Jadi NPWP Orang Pribadi

Implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi akan dimulai tahun depan. Pemberlakukan NIK sebagai NPWP orang pribadi dilaksanakan bersamaan dengan implementasi sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system.

"Kementerian Keuangan melalui DJP sedang menggodok peraturan teknisnya," tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN KiTa edisi Juni 2022. (DDTCNews)

Baca Juga:
Jelang Lebaran, DJP Tegaskan Pegawainya Tidak Boleh Terima Gratifikasi

Restitusi Pajak

Pemerintah mencatat realisasi restitusi pajak pada Mei 2022 mengalami penurunan sebesar 41,4% secara tahunan. Laporan APBN Kita edisi Juni 2022 menyebut restitusi pajak pada Mei 2022 hanya senilai Rp6,64 triliun atau turun signifikan dari realisasi pada Mei 2021 senilai Rp11,34 triliun.

"Penurunan restitusi tersebut utamanya berasal dari jenis pajak PPh badan yang mengalami penurunan restitusi dengan laju penurunan mencapai 41,45% (yoy)," bunyi laporan APBN Kita. (DDTCNews)

Penerimaan PPh Final

PPS memberikan dorongan yang signifikan terhadap kinerja penerimaan PPh final pada Mei 2022. Kementerian Keuangan mencatat pada Mei 2022, realisasi PPh final mampu mencapai Rp12,8 triliun atau tumbuh 65,9% bila dibandingkan dengan realisasi pada Mei 2021.

Baca Juga:
Omzet Belum Tembus Rp 4,8 Miliar, Rumah Makan Padang Kukuh Ajukan PKP

"Jika penerimaan PPS dipisahkan dari realisasi PPh final maka pertumbuhan penerimaan PPh final Mei 2022 hanya sebesar 13,49%," tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN KiTa edisi Juni 2022. (DDTCNews)

Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2023

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuka kemungkinan untuk melakukan perubahan atas asumsi-asumsi yang telah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN 2023. Menurutnya, perekonomian global saat ini bergerak dinamis.

Untuk pendahuluan RAPBN 2023, pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% hingga 5,9% dan inflasi sebesar 2% hingga 4%. Pendapatan negara pada tahun depan diperkirakan 11,19% hingga 12,24% terhadap PDB dengan tax ratio 9,3% hingga 10%.

Selanjutnya, belanja negara ditargetkan mencapai 13,8% hingga 15,1% dari PDB. Adapun defisit anggaran pada tahun depan diperkirakan mencapai 2,61% hingga 2,85% dari PDB, sudah lebih rendah dari 3% sesuai dengan ketentuan UU Keuangan Negara. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN