KINERJA PERDAGANGAN

Indonesia Bisa Pertahankan Surplus Neraca Dagang di 2023, Ini Modalnya

Redaksi DDTCNews
Rabu, 18 Januari 2023 | 15.15 WIB
Indonesia Bisa Pertahankan Surplus Neraca Dagang di 2023, Ini Modalnya

Aktivitas bongkar muat kontainer berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (15/12/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU

JAKARTA, DDTCNews - Indonesia dinilai bisa mempertahankan kinerja positif perdagangan yang berhasil dicapai pada 2022 lalu. Seperti diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada 2022 lalu mencatatkan rekor tertinggi dengan nilai surplus menembus US$54,46 miliar. 

Namun, 2023 merupakan tahun penuh tantangan. Kantor Staf Presiden (KSP) memprediksi peningkatan ekspor pada 2023 hanya 12,8%, turun dibandingkan realisasi 2022 lalu, yakni 29,4%. Hal ini disebabkan adanya potensi resesi global, peningkatan suku bunga The Fed, dan masih berlanjutnya perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global.

"Meski demikian, pemerintah optimistis bisa menjaga neraca perdagangan tetap tumbuh walaupun melambat," ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Agung Krisdiyanto, Rabu (18/1/2023). 

Agung menilai Indonesia masih punya sejumlah modal untuk bertahan di tengah ketidakpastian global. Modal yang dia maksud, salah satunya adalah peningkatan hilirisasi industri khususnya komoditas nikel, bauksit, dan tembaga. 

Salah satu agenda prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu, menurut Agung, bisa meningkatkan ekosistem industri dalam negeri dan menjaga perkembangan neraca perdagangan Indonesia dalam jangka panjang. 

"Hasilnya sudah ada. Selama 2022, hilirisasi komoditas nikel berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel dan turunanannya sebesar 365% year on year (yoy)," kata Agung.

Selain itu, modal lainnya adalah peluang Indonesia untuk melakukan diversifikasi ekspor ke negara-negara non-tradisional, terutama yang telah memiliki perjanjian perdagangan dengan skema tarif rendah. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki perjanjian perdagangan baik regional dan bilateral dengan Asean, Jepang, Pakistan, Chili, UAE, Mozambik, Australia, dan Korea Selatan.

Indonesia saat ini juga tengah melakukan negosisasi perdanganan dengan Uni Eropa atau IEU-CPA (Indonesia – European Union - Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang diharapkan dapat rampung pada akhir 2023.

"KSP akan mengawal dan melakukan langkah debottlenecking agar bisa segera mencapai kesepakatan," ujarnya.  

Di sisi impor, tutur Agung, pemerintah berupaya menekan impor melalui instrumen pengadaan barang/jasa pemerintah, yakni mengutamakan produk dalam negeri. Komitmen tersebut tertuang pada Inpres No 2/2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. 

Secara umum, kondisi Indonesia saat ini diyakini masih jauh lebih baik dibanding negara-negara lain. Terlebih, ekonomi Indonesia didominasi oleh market domestik ketimbang Internasional. Pengaruh global, menurut Agung, masih dapat disiasati dengan kebijakan inward looking atau strategi pendayagunaan pasar domestik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Agung pun memastikan cadangan devisa Indonesia yang berkisar US$137 miliar masih cukup aman untuk pembiayaan impor selama 6 bulan. Angka tersebut bisa memberikan bantalan cukup kuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang diperkirakan akan mengalami gejolak akibat peningkatan suku bunga The Fed. 

"Kalangan dunia usaha tetap harus waspada, tapi jangan panik dan khawatir. Kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik," katanya.

Sebagai informasi, jika merujuk pada data bulanan sejak Mei 2020, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 32 bulan berturut-turut. Namun, berbagai kalangan menilai, capaian tersebut tidak akan bisa diulang pada 2023 karena terjadi ketidakpastian global. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.