Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak orang pribadi yang menerima Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) tetap bisa mengikuti skema kebijakan II program pengungkapan sukarela (PPS). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (7/1/2022).
Penyuluh Pajak Ahli Madya Ditjen Pajak (DJP) Yudha Wijaya menjelaskan SP2DK bukanlah bagian dari pemeriksaan. Dengan demikian, wajib pajak tetap bisa mengikuti PPS meski menerima SP2DK dari otoritas pajak.
"Kalau sebatas SP2DK, tentu wajib pajak bisa ikut PPS," ujar Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Yudha Wijaya.
Seperti diketahui, kepala kantor pelayanan pajak (KPP) menerbitkan SP2DK untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Simak Fokus Kunjungan Dijalankan, ‘Surat Cinta’ Disampaikan.
Selain mengenai keikutsertaan wajib pajak orang pribadi dalam PPS, ada pula bahasan terkait dengan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Kemudian, ada pula bahasan terkait dengan kebijakan cukai, terutama rencana penambahan barang kena cukai (BKC) baru.
Skema kebijakan II PPS adalah pengungkapan harta bersih yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2020. Harta itu masih dimiliki pada 31 Desember 2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Wajib pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan harta bersih dalam skema kebijakan II harus memenuhi ketentuan. Pertama, tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan/atau 2020.
Kedua, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan/atau 2020. Ketiga, tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan. Keempat, tidak sedang dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan. Kelima, tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. (DDTCNews)
Wajib pajak perlu memperhatikan pelaporan SPT. Hal ini untuk menghindari risiko SPT dianggap tidak disampaikan seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (7) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan … direktur jenderal pajak wajib memberitahukannya kepada wajib pajak,” bunyi penggalan Pasal 3 ayat (7a) UU KUP.
Dalam aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 243/2014 s.t.d.t.d PMK 18/2021, juga ditegaskan ada 4 kondisi yang dapat menyebabkan SPT dianggap tidak disampaikan wajib pajak. Simak ‘Awas, SPT Dianggap Tidak Disampaikan Wajib Pajak Jika Ini Terjadi’. (DDTCNews)
Peraturan Presiden (Perpres) 104/2021 memuat 2 pos penerimaan baru yang masuk kelompok cukai untuk tahun ini. Pertama, pendapatan cukai produk plastik senilai Rp1,9 triliun. Kedua, pendapatan cukai minuman bergula dalam kemasan senilai Rp1,5 triliun.
Kendati sudah masuk dalam perincian target penerimaan tahun ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengungkapkan pengenaan cukai baru akan tetap melihat kondisi perekonomian. “Melihat kondisi pemulihan ekonomi di 2022 serta pandemi,” ujarnya. Simak pula Fokus Kepabeanan dan Cukai di Tengah Pemulihan Ekonomi.
Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan perluasan objek cukai seperti plastik dan minuman berpemanis perlu untuk diterapkan di Indonesia. Menurutnya, diperlukan instrumen pengendalian konsumsi barang yang memberikan eksternalitas negatif.
“Instrumen cukai yang diterapkan melalui mekanisme harga (market price mechanism) umumnya lebih efektif dibandingkan dengan mekanisme pengendalian melalui command and control,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan global atau Asean, sambungnya, objek cukai di Indonesia juga masih terbatas. Selain itu, dari sudut pandang penerimaan di banyak negara, cukai sebagai specific consumption taxes juga merupakan pos yang kontribusi penerimaannya bisa diharapkan.
Namun demikian, Bawono setuju dengan pandangan pemerintah bahwa perluasan cukai atas plastik dan minuman berpemanis perlu melihat situasi pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Jika pun akan diberlakukan, menurut dia, desain ketentuannya juga perlu disusun dengan tetap memperhatikan administrasi pengawasannya, tarif, threshold, kriteria pengenaannya, dan lainnya. (Kontan)
Melalui PMK 193/2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengubah skema tarif cukai rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) menjadi lebih spesifik mulai 2022. Setelah menerbitkan peraturan tersebut, Sri Mulyani kini merilis PMK 217/2021.
Aturan ini mengatur perdagangan barang kena cukai (BKC) yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya. Melalui beleid baru tersebut, dia menambahkan ketentuan perdagangan rokok elektrik untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Simak ‘Rokok Elektrik Kini Diatur Spesifik, Aturan Perdagangan BKC Direvisi’. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan kembali mengubah ketentuan penggunaan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT). Pembaruan ketentuan penggunaan DBH CHT ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 215/2021 yang diundangkan pada 31 Desember 2021.
"DBH CHT digunakan untuk mendanai program peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan BKC ilegal," bunyi Pasal 2 PMK 215/2021. Simak ‘Baru Setahun, Komposisi Penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau Diubah’. (DDTCNews/Kontan)
Rasio kepatuhan formal wajib pajak dalam penyampaian SPT Tahunan pada tahun lalu mencapai 84%. Berdasarkan pada data DJP per 31 Desember 2021 tercatat pelaporan SPT Tahunan 2020 mencapai 15,97 juta. Jumlah wajib pajak wajib SPT sendiri mencapai 19 juta.
"Dari jumlah pelaporan tersebut sudah mencapai target pelaporan SPT Tahunan yang telah ditetapkan," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor. (DDTCNews/Kontan) (kaw)