UJI MATERIIL

Gugatan UU KUP di MK Berlanjut, Ini Kata Ahli dan Saksi Pemohon

Muhamad Wildan
Selasa, 22 September 2020 | 14.46 WIB
Gugatan UU KUP di MK Berlanjut, Ini Kata Ahli dan Saksi Pemohon

Gedung Mahkamah Konstitusi. (foto: Antara)

JAKARTA, DDTCNews—Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang gugatan uji materiil UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dengan nomor perkara No. 41/PUU-XVIII/2020 pada hari ini, Selasa (22/9/2020).

Dalam acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon tersebut, kuasa hukum pemohon Heru Widodo menghadirkan dua ahli pemohon yakni Sutan Remy Sjahdeini sebagai ahli hukum kepailitan dan Tjip Ismail sebagai ahli hukum perpajakan.

Saksi pemohon yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon adalah Andrey Sitanggang selaku mantan kurator PT United Coal Indonesia (UCI).

Dalam sidang tersebut, Tjip menyatakan utang pajak wajib pajak PT yang sudah dinyatakan pailit tidak dapat serta merta ditagihkan oleh Ditjen Pajak (DJP) kepada mantan pengurus baik direksi maupun komisaris dari PT tersebut.

"Dalam proses peradilan di Pengadilan Niaga, kendati utang pajak harus didahulukan dibandingkan utang lain, kalau sudah pengadilan maka utang beralih pemberesannya melalui kurator," kata Tjip.

Menurut Tjip, Pengadilan Niaga-lah yang memiliki kuasa untuk mempertimbangkan serta memerinci hingga memutuskan utang mana yang didahulukan. Dalam pemberesan utang-utang perseroan yang sedang dalam proses pailit atau sudah pailit, kewenangan pemberasan utang berada pada kurator yang diawasi oleh hakim pengawas.

"Apakah utang pajak dulu atau yang lain itu berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Niaga. Apabila dari pemerintah tidak puas terhadap putusan pengadilan maka bisa diajukan gugatan kepada MA," tuturnya.

Sementara itu, Sutan menyatakan berdasarkan utang dari suatu PT yang pailit tidak dapat dialihkan kepada pengurus PT baik direksi maupun komisaris apabila kepailitan PT tersebut tidak disebabkan oleh kelalaian jajaran.

Oleh karena itu, direksi dan komisaris baru menanggung utang tersebut apabila kepailitan disebabkan oleh kelalaian jajaran direksi.

"Jadi kalau masih ada sisa utang dan kepailitan tersebut karena kesalahan pengurus maka pengurus harus menanggung. Bila harta PT yang dinyatakan pailit tidak cukup untuk membayar utang, direksi secara tanggung renteng menanggung kewajiban yang tidak lunas tersebut," ujarnya.

Sutan menambahkan penentuan jajaran pengurus suatu PT telah lalai dan menyebabkan PT yang dimaksud pailit bergantung pada putusan dari Pengadilan Niaga.

Jika dinyatakan tidak ada kelalaian pengurus maka beban utang tersebut tetaplah beban perseroan dan tidak bisa dibebankan kepada pengurus.

Utang PT UCI
Dalam kaitannya dengan utang PT UCI, Andrey mengatakan tagihan utang pajak yang ditetapkan oleh DJP atas PT UCI mencapai Rp43 miliar. Namun, PT UCI hanya mengakui utang pajak sebesar Rp5 miliar.

Sempat ada tagihan utang pajak lainnya dari DJP sebesar Rp106 miliar tetapi kurator memutuskan untuk tidak memasukkan nominal tersebut ke dalam daftar tagihan karena pengajuannya melebihi batas waktu yang ditentukan.

Andrey mengaku pihaknya selaku kurator telah mengumumkan daftar dan nominal tagihan utang PT UCI dari beberapa kreditur termasuk utang pajak kepada DJP.

Meski begitu, DJP keberatan dengan penetapan utang tersebut dan mengajukkan gugatan ke Pengadilan Niaga dan MA. Dalam perjalanannya, kedua gugatan tersebut ditolak oleh majelis hakim.

Dengan adanya putusan MA maka pembagian boedel pailit berdasarkan daftar dari kurator telah memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dibereskan.

Dalam sidang Pengadilan Niaga, Andrey bersaksi tidak ada satupun amar putusan baik eksplisit maupun implisit yang menyatakan adanya kelalaian direksi sehingga menyebabkan PT UCI mengalami kepailitan.

"Tidak adanya kelalaian baik pada rapat dan apalagi pada amar putusan. Tagihan seluruh kreditur yang belum terbayar ini akan menjadi tagihan yang tidak terbayar karena tidak ada harta yang bisa dijual untuk membayar utang tersebut," kata Andrey.

Seperti diketahui, gugatan atas PT KUP diajukan oleh Taufik Surya Dharma kepada MK karena dirinya merasa dirugikan hak konstitusionalnya selaku mantan pengurus PT UCI akibat Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP.

Taufik merasa dirugikan karena utang pajak PT UCI yang sudah dinyatakan pailit ini tetap ditagihkan kepada Taufik hingga sebesar Rp193 miliar pada Mei 2019 lalu.

Pada akhir 2019, Taufik yang tidak lagi menjadi pengurus PT UCI mendapatkan surat tagihan pajak dari kantor pajak dan pemberitahuan tentang perintah memberi kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank atas nama pemohon.

Adapun Pasal 2 ayat 6 dan Pasal 32 ayat 2 UU KUP mengatur penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP) oleh Dirjen Pajak dan mengenai wakil wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.