Ilustrasi. |
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) memerinci format dan tata cara pengisian laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi (migas). Perincian tersebut tercantum dalam Perdirjen pajak No. PER-11/PJ/2025.
Sesuai dengan ketentuan, kontraktor yang bertindak sebagai operator maupun partner wajib menyusun laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas di wilayah kerja yang bersangkutan. Kewajiban ini terkait dengan pelaksanaan kontrak kerja sama (KKS).
“Kontraktor yang bertindak sebagai operator maupun partner dalam suatu wilayah kerja, dalam melaksanakan kontrak kerja sama, wajib menyusun laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi di wilayah kerja yang bersangkutan,” bunyi Pasal 27 ayat (1) PER-11/PJ/2025, dikutip pada Selasa (24/6/2025).
Secara lebih terperinci, laporan tersebut memuat 6 data. Pertama, jumlah dasar pengenaan pajak. Kedua, jumlah pajak yang terutang dan/atau jumlah pajak dibayar. Ketiga, lifting minyak bumi dan/atau gas bumi. Keempat, equity to be split.
Kelima, bagian negara. Bagian negara dalam konteks ini meliputi lifting yang merupakan hak negara dari total lifting minyak bumi dan/atau gas bumi berdasarkan KKS. Keenam, data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha wajib pajak.
PER-11/PJ/2025 pun telah memberikan contoh format laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas beserta tata cara pengisiannya. Contoh format dan tata cara pengisian tersebut dapat dilihat dalam lampiran huruf C PER-11/PJ/2025.
Pengaturan format dan tata cara pengisian tersebut memperjelas ketentuan PMK 81/2024. Sebelumnya, PMK 81/2024 menyesuaikan ketentuan seputar pelaporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas yang sebeleumnya diatur dalam PMK 79/2012.
Merujuk Pasal 262 PMK 81/2024, kontraktor yang bertindak sebagai operator maupun partner harus menyampaikan laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas secara bulanan. Laporan penerimaan negara tersebut harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
PMK 81/2024 menegaskan laporan penerimaan negara tersebut berfungsi sebagai SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh). Untuk itu, kontraktor yang tidak atau terlambat menyampaikan laporan penerimaan negara akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan UU KUP. (dik)