JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) memberikan imbauan terbaru terkait dengan bukti potong PPh dan surat teguran dalam penerapan coretax administration system. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (5/2/2025).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan pembuatan bukti potong PPh pada aplikasi Coretax DJP dapat dilakukan melalui 3 skema. Pertama, input manual untuk setiap bukti potong (key in) di Coretax DJP.
Kedua, mengunggah file XML pada akun wajib pajak pemberi penghasilan untuk wajib pajak dalam jumlah besar (massal). Ketiga, melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Adapun tata cara pembuatan bukti potong selengkapnya bisa dilihat di https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/.
Dalam hal NIK penerima penghasilan belum terdaftar dalam Coretax DJP, pembuatan bukti potong tetap dapat dilakukan dengan NIK tersebut. Pembuatan bukti potong akan dilakukan dengan NPWP sementara (temporary TIN) yang disediakan oleh sistem.
Namun, perlu diingat, penggunaan NPWP sementara tersebut memiliki konsekuensi, yaitu bukti potong yang dibuat tidak akan terkirim ke akun wajib pajak penerima penghasilan sehingga tidak akan masuk (tidak akan ter-prepopulated) ke SPT Tahunan penerima penghasilan.
Oleh karena itu, DJP mengimbau penerima penghasilan untuk segera melakukan aktivasi akunnya di Coretax DJP sehingga dapat melaporkan SPT dengan bukti potong yang sudah prepopulated pada SPT-nya.
Sementara itu, terkait dengan surat teguran, DJP menyampaikan bahwa penerbitan surat teguran pada Coretax DJP dilakukan secara otomatis berdasarkan data administrasi perpajakan DJP.
Penerbitan surat teguran tersebut dilakukan saat wajib pajak memiliki tunggakan yang sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Penerbitan surat teguran ini merupakan bagian dari imbauan kepatuhan pajak berbasis data dan otomatisasi.
Oleh karena itu, DJP mengimbau wajib pajak yang menerima surat teguran secara berulang atau menemukan adanya ketidaksesuaian dengan data yang dimiliki untuk segera melakukan pengecekan pada Coretax DJP.
Selanjutnya wajib pajak dapat menginformasikan hal dimaksud melalui saluran helpdesk yang ada di unit kerja DJP atau melalui Kring Pajak 1500 200 dengan dilengkapi dokumen pendukung sehingga dapat ditindaklanjuti oleh DJP.
Tambahan informasi, DJP juga menerbitkan panduan penggunaan aplikasi Coretax DJP pada tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/. Apabila wajib pajak menemui kendala, silakan menghubungi kantor pajak setempat atau Kring Pajak 1500 200.
Selain imbauan DJP perihal bukti potong PPh dan surat teguran, ada pula ulasan mengenai perlunya coretax system untuk terhubung dengan seluruh sistem pada instansi lain. Ada juga bahasan mengenai peraturan yang mengatur kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang kiriman.
Hingga 3 Februari 2025, DJP mencatat 1,25 juta bukti potong PPh telah terbit untuk masa Januari 2025. Dari jumlah itu, 263.871 bukti potong PPh diterbitkan wajib pajak instansi pemerintah. Sisanya, 995.707 bukti potong diterbitkan wajib pajak pemotong PPh non-instansi pemerintah.
Terkait dengan faktur pajak, wajib pajak yang telah berhasil memperoleh sertifikat digital atau sertifikat elektronik untuk keperluan penandatanganan faktur pajak dan bukti potong PPh mencapai 508.679.
Pada saat bersamaan, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak mencapai 218.994. Jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan untuk masa Januari 2025 mencapai 30,14 juta dengan jumlah faktur pajak telah divalidasi atau disetujui sebesar 26,31 juta. (DDTCNews/Kontan)
DJP merilis Buku Manual Coretax Modul SPT Masa PPh Unifikasi. Selain menerangkan tata cara pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi, buku manual itu juga menjabarkan tata cara pembuatan, penggantian, dan pembatalan bukti potong unifikasi.
Bukti potong unifikasi tersebut meliputi bukti pemotongan/pemungutan unifikasi (BPPU), bukti potong nonresident (BPNR), bukti potong setor sendiri, dan bukti potong secara digunggung. Modul itu juga menerangkan perubahan proses bisnis pembuatan bukti potong dan SPT Masa PPh Unifikasi.
“Buku ini merupakan petunjuk penggunaan aplikasi Coretax DJP khususnya terkait dengan Modul SPT Masa PPh Unifikasi,” bunyi keterangan DJP dalam buku manual. (DDTCNews)
Pemerintah telah menerbitkan peraturan mengenai ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang kiriman.
Peraturan tersebut adalah PMK 4/2025, yang merupakan revisi kedua atas PMK 96/2023. Revisi ini dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
"Untuk lebih meningkatkan pelayanan dan pengawasan serta memberikan kepastian hukum dalam kegiatan impor dan ekspor barang kiriman, PMK 96/2023 s.t.d.d PMK 111/2023 perlu diubah," bunyi salah satu pertimbangan PMK 4/2025. (DDTCNews)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memandang coretax administration system perlu segera disambungkan dengan semua sistem pada instansi lain.
Airlangga mengatakan sistem yang terkoneksi tersebut akan membuat pengawasan kepatuhan wajib pajak lebih terintegrasi. Dia pun meminta perbaikan pada coretax system turut diimbangi dengan penyesuaian sistem di instansi lain.
"Agar sistem itu (coretax system) juga terkoneksi dalam upaya memperkuat dan mengintegrasikan pengawasan kepatuhan para wajib pajak," katanya melalui media sosial. (DDTCNews)
Anggota DPR AS dari Partai Republik mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) bernama Defending American Jobs and Investment Act yang bertujuan untuk mencegah pengenaan pajak secara diskriminatif oleh yurisdiksi lain atas perusahaan AS.
Salah satu kebijakan pajak yang dianggap diskriminatif terhadap perusahaan AS ialah undertaxed payment rule (UTPR). Sebagai informasi, UTPR merupakan salah satu bagian dari ketentuan pajak minimum global atau global anti base erosion (GloBE).
"RUU ini diperlukan untuk memastikan Presiden AS Donald Trump memiliki instrumen untuk melawan yurisdiksi asing yang melemahkan ekonomi AS atau memberikan perlakuan tidak adil bagi bisnis AS," kata Ketua Komite Perpajakan DPR Jason Smith. (DDTCNews)
DJP memperbolehkan sejumlah perusahaan besar untuk memilih menerbitkan faktur pajak di antara 2 aplikasi, yaitu Coretax DJP dan e-Faktur.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti menjelaskan notabenenya semua wajib pajak, orang pribadi maupun badan, sudah harus menggunakan Coretax DJP setelah diluncurkan pada 1 Januari 2025.
Namun, ditemukan sejumlah isu dalam pengaplikasiannya, seperti eror dalam penerbitan faktur pajak oleh wajib pajak badan. Untuk itu, DJP memutuskan perusahaan besar yang perlu membuat banyak faktur pajak kembali menggunakan aplikasi lama, yaitu e-Faktur Desktop. (Bisnis Indonesia)