Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam dalam seminar nasional bertajuk Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Studi Perbandingan di Auditorium R. Soeria Atmadja Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (28/11/2024).
DEPOK, DDTCNews - Kuasa dan konsultan pajak berperan penting dalam sistem perpajakan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan grand design pengaturan profesi kuasa dan konsultan pajak di Tanah Air.
Dalam seminar nasional bertajuk Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Studi Perbandingan, Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam menjabarkan perjalanan ketentuan tentang kuasa wajib pajak silih berganti.
Dalam perkembangan tersebut, kuasa dapat dilakukan oleh ‘konsultan pajak’, ‘bukan konsultan’, ‘karyawan wajib pajak’, dan ‘pihak lain’ yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di eranya masing-masing.
“Kemudian, ketentuan yang silih berganti tersebut membentuk suatu rezim tersendiri tentang kuasa dan konsultan pajak,” ujar Darussalam di Auditorium R. Soeria Atmadja Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (28/11/2024).
Selaras dengan tinjauan historis pengaturan kuasa dan konsultan pajak di Indonesia, lanjut Darussalam, kriteria mengenai pihak yang memiliki kompetensi tertuang dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) UU 6/1983 tentang KUP s.t.d.t.d. UU Cipta Kerja 2023.
Darussalam mengatakan ketentuan tersebut seyogianya harus dimaknai sebagai adanya kehadiran berbagai jalur. Ketiga elemen, yaitu jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan seharusnya tidak bersifat kumulatif.
Dia memberikan contoh profesi lain di Indonesia, seperti advokat, arsitek, akuntan publik, tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta insinyur. Untuk dapat menjalankan profesi, mereka harus memiliki pendidikan keilmuan yang sama dengan profesi yang akan dijalankan.
“Dengan demikian, sudah seyogianya untuk menjalankan profesi kuasa dan konsultan pajak tentu harus memberikan jalur prioritas kepada lulusan perguruan tinggi di bidang perpajakan sebagai tuan rumah,” jelasnya.
Jalur prioritas bagi pihak-pihak yang memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi di bidang perpajakan, sambung Darussalam, juga dapat ditemukan di beberapa negara, seperti Jerman dan Australia.
Kendati demikian, Darussalam mengatakan kuasa dan konsultan pajak merupakan profesi yang multidisiplin ilmu. Oleh karena itu, lulusan di luar bidang perpajakan juga ‘diperbolehkan’ untuk dapat menjalankan profesi kuasa dan konsultan pajak.
Kepada pihak tersebut disediakan jalur penyetaraan atau sertifikasi. Jalur ini juga mempertimbangkan irisan keahlian bidang ilmu lainnya dengan pajak serta wujud nyata mendorong jumlah kuasa dan konsultan pajak di Indonesia.
Dengan demikian, ujian sertifikasi seyogianya hanya berlaku bagi lulusan di luar bidang perpajakan untuk disetarakan. Singkatnya, atas ‘keterbukaan’ bagi individu yang tidak memiliki latar belakang di bidang perpajakan tersebut maka diperlukan penyetaraan melalui sertifikasi.
“Bukan lantas terdapat kompetensi yang disamaratakan dengan lulusan perguruan tinggi di bidang perpajakan. Sebab, hal tersebut justru tidak sesuai dengan prinsip equal treatment,” kata Darussalam.
Selain 2 jalur yang disebutkan sebelumnya, perlu juga dibuka jalur penghargaan atau rekognisi kepada pihak-pihak yang telah terbukti keahlian perpajakannya. Pihak tersebut seperti mantan pegawai pajak, mantan hakim pengadilan pajak, guru besar, dosen, dan peneliti.
Syaratnya, lanjut Darussalam, pihak-pihak tersebut harus dapat menunjukkan bukti yang memperlihatkan keahliannya. Umumnya ditentukan dengan minimal masa kerja di bidang perpajakan, seperti yang diimplementasikan di Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.
Lebih lanjut, desain pengaturan kuasa dan konsultan pajak di Indonesia seharusnya menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan praktik kuasa dan konsultan pajak secara ideal. Salah satunya berupa fleksibilitas bentuk badan usaha serta nama kantor kuasa dan konsultan pajak.
Fleksibilitas tersebut juga dirasa selaras dengan tren globalisasi, digitalisasi, dan inkorporasi dalam profesi jasa. Adapun perdebatan atas aspek pertanggungjawaban profesi yang kerap memicu pembatasan bentuk badan usaha, sambung Darussalam, sejatinya dapat dipecahkan melalui professional indemnity insurance (PI insurance)
PI insurance merupakan asuransi penggantian uang dari perusahaan asuransi kepada kuasa dan konsultan pajak yang membayar suatu kompensasi kepada klien sehubungan dengan jasa yang dilakukannya. Kompensasi dari kuasa dan konsultan pajak tersebut merupakan bentuk tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukannya sehingga menyebabkan kerugian keuangan bagi klien.
Saat ini, penerapan PI insurance dalam jasa yang diberikan kuasa dan konsultan pajak kian banyak diatur di berbagai negara. Dalam salah satu survei ditemukan bahwa 10 dari 22 negara Uni Eropa – yang menjadi studi komparasi – telah mensyaratkan adanya PI insurance bagi kuasa dan konsultan pajak yang berpraktik di negara mereka.
“Asuransi perlindungan pengguna jasa (klien) dari kerugian finansial tersebut akan turut menjamin kepercayaan publik kepada jasa yang diberikan oleh kuasa dan konsultan pajak,” imbuh Darussalam.
Dalam kesempatan itu, Darussalam juga menyatakan perlunya peninjauan ulang atas pengelompokan kompetensi perpajakan berdasarkan jenis wajib pajak dan ruang lingkup transaksinya, yaitu konsultan pajak tingkat A, B, dan C, yang selama ini dianut oleh Indonesia.
“Ke depan, pengelompokan seharusnya didasarkan atas kompetensi dasar perpajakan dan kompetensi keahlian perpajakan,” kata Darussalam.
Beberapa aspek di atas diharapkan menjadi perhatian sekaligus justifikasi perlunya grand design pengaturan profesi kuasa dan konsultan pajak di Indonesia. Berbagai aspek tersebut telah ditulis dalam buku berjudul Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan.
Buku hasil kolaborasi PERTAPSI dan DDTC ini mencoba menyajikan konsep dan model ketentuan kuasa dan konsultan pajak yang mendukung sistem perpajakan lebih baik lagi. Konstruksi model dilakukan melalui fakta historis ketentuan perpajakan atas kuasa dan konsultan pajak, studi perbandingan, analisis konseptual, serta melihat fakta yang terjadi di lapangan.
Buku ke-29 terbitan DDTC tersebut juga dirilis bersamaan dengan acara seminar nasional. Dalam acara ini, akan ada 200 buku yang dibagikan secara gratis untuk peserta luring (offline) dan 10 buku kepada peserta daring (online) terpilih. Syaratnya, beri pendapat atau komentar dalam berita peluncuran buku ‘Resmi Dirilis! Buku Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan’. (kaw)