BERITA PAJAK HARI INI

Asosiasi Emiten Indonesia Dukung Omnibus Law Perpajakan

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 Desember 2019 | 08.59 WIB
Asosiasi Emiten Indonesia Dukung Omnibus Law Perpajakan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mendukung rencana pemerintah untuk memberlakukan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang lebih rendah untuk perusahaan go public baru. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (3/12/2019).

Ketua AEI Fransiscus Welirang mengatakan rencana pemerintah yang akan masuk dalam omnibus law perpajakan ini diperkirakan mampu menstimulus perusahaan-perusahaan di Indonesia agar segera melantai di bursa saham.

“Dengan arahan program pemerintah mengenai omnibus pajak, daya tarik untuk menjadi [perusahaan] terbuka juga akan besar,” katanya.

Seperti diketahui, dalam rencana penerbitan omnibus law perpajakan, pemerintah akan menurunkan tarif PPh badan yang melakukan go public. Pengurangan tarif sekitar 3 poin persentase dari tarif umum hanya berlaku untuk go public baru. Tarif yang lebih rendah hanya berlaku selama 5 tahun.

Dengan skema ini, tarif PPh untuk perusahaan yang go public akan turun menjadi 19% pada periode 2021—2022 atau 17% pada 2023. Hal ini berlaku jika tarif PPh badan telah dipangkas menjadi 22% untuk periode 2021—2022 dan 20% mulai periode 2023.

Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti revisi beleid terkait insentif tax allowance. Keluarnya Peraturan Pemerintah No.78/2019 secara otomatis mencabut beleid terdahulu, yaitu Peraturan Pemerintah No.18/2015 yang pernah direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 9/2016.

Berikut ulasan berita selanjutnya.

  • Daya Saing

Ketua AEI Fransiscus Welirang mengungkapkan omnibus law perpajakan menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan daya saing. Apalagi, pemerintah dan Bursa Efek Indonesia (BEI) menargetkan lebih banyak suntikan modal dari luar negeri masuk ke Indonesia.

“Saya kira ini merupakan good will dari pemerintah untuk memangkas seluruh masalah birokrasi. Selain itu, semakin banyak perusahaan go public makin bagus juga,” katanya.

  • Energi Terbarukan

Pemerintah merevisi ketentuan tambahan waktu pemanfaatan tax allowance lebih dari 5 tahun, tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Ada dua ketentuan tambahan yang menjadi syarat perolehan tambahan waktu tersebut.

Pertama, tambahan waktu 1 tahun untuk penanaman modal di bidang dan/atau daerah tertentu yang dilakukan wajib pajak. Kedua, tambahan 1 tahun apabila penanaman modal bidang atau usaha tertentu dilakukan pada bidang energi baru dan terbarukan.

  • Instrumen Lindung Nilai

Adanya penguatan instrumen lindung nilai (hedging) diproyeksi akan meningkatkan kontribusi swasta dalam pembangunan infrastruktur. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan yang menjadi penyebab minimnya kontribusi swasta dalam proyek infrastruktur adalah belum adanya instrumen hedging dalam pembiayaan.

“Kalau bicara infrastruktur pasti tentunya kita berharap yang jangka panjang. Sementara, instrumen hedging yang ada sekarang baru satu tahunan. Jadi akhirnya itu memang akan menjadi tugas kita, Bank Indonesia, untuk bisa mengembangkan instrumen dan market hedging,” katanya.

  • Saldo Mengendap

Kementerian Keuangan merilis ketentuan yang mengatur penyetoran ke kas negara atas saldo yang telah mengendap di Bendahara Penerimaan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Ketentuan itu ada dalam Peraturan Menteri Keuangan No.177/PMK.04/2019.

Dalam beleid yang ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 November 2019 ini, pemerintah memaparkan kriteria saldo yang mengendap. Saldo yang mengendap itu merupakan saldo yang tidak diambil oleh pemiliknya dengan 3 kriteria. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.