Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mengaku keberatan dengan pengenaan pajak rokok atas rokok elektrik yang berlaku per 1 Januari 2024. Hal ini lantaran pengenaan pajak rokok dinilai menjadi pukulan tambahan bagi industri rokok elektrik.
Sekretaris Jenderal Garindra Kartasasmita menjelaskan APVI merasa keberatan karena sudah ada kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) pada 2024. Selain itu, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) atas hasil tembakau juga akan mengalami kenaikan pada 2025.
"Kami keberatan karena cukainya sudah naik 19%, HJEnya naik 19%, kalau ditambah pajak rokok, ini jadi triple hit untuk kami. Kemudian pada 2025 akan ada kenaikan tarif PPNHT [PPN hasil tembakau] yang tadinya 9,9% menjadi 10,9%, bersamaan dengan naiknya PPN regular. Kami mau bayar pajak rokok, tapi bertahap," sebut Garindra, sebagaimana dikutip pada Senin (8/1/2023),
Garindra mengatakan masih bisa mengantisipasi kenaikan tarif cukai dan HJE karena kebijakan tersebut telah ditetapkan sejak akhir 2022. Sementara itu, APVI baru mendapatkan kabar pajak rokok atas rokok elektrik melalui sosialisasi yang digelar Bea Cukai pada 28 November 2023.
Dalam sosialisasi tersebut, sambung Garindra, telah muncul penolakan dari APVI. Kemudian, APVI sempat bertemu dengan perwakilan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pada saat itu, menurut Garindra, ada kesepakatan untuk diundur pada 2026.
"Yang tidak bisa kami antisipasi adalah pajak rokok. Jadi, pajak rokok ini adalah pajak yang alokasinya untuk pemerintah daerah. Berbeda dengan PPNHT, berbeda dengan cukai, yang sebelumnya hanya dikenakan di rokok konvensional dan kemudian pada tahun ini dikenakan ke rokok elektrik," ucap Garindra.
Garindra juga menyesalkan sosialisasi pajak rokok elektrik yang dinilai masih kurang. Garindra mengaku APVI tidak pernah diundang terkait sosialisasi UU HKPD yang melandasi terbitnya PMK 143/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok.
"Setelah kami tanya ke DJPK, dasarnya adalah pasal yang ada di UU 1/2022 ditu disebutkan bahwa pajak rokok dikenakan untuk produk rokok berupa rokok, cerutu, dan jenis rokok lainnya. Nah, jenis rokok lainnya ini dianggaplah rokok elektrik. Padahal, selama ini kami bercukai itu bukanlah di ranahnya rokok tembakau, tapi di ranahnya hasil pengolahan tembakau," jabarnya.
Garindra menambahkan kendati namanya rokok elektrik, tetapi dia merasa produk tersebut bukan rokok. Sebab, menurut Garindra, rokok elektrik tidak seperti definisi rokok konvensional yang tertera di undang-undang.
"Definisi rokok adalah berisikan tembakau, dibakar, dihirup asapnya. Tapi, kami tidak ada asap, kami adanya uap. Kami tidak ada pembakaran, adanya pemanasan. Kami merasa ini adalah persepsi tersendiri dari Kemenkeu untuk mempersepsikan bahwa jenis rokok lainnya itu adalah rokok elektrik. Padahal, dasar hukumnya tak ada di situ," imbuh Garindra.
Garindra memperkirakan penerapan pajak rokok akan membuat harga rokok elektrik naik minimal 10% hingga 15%. Namun, sambung Garindra, kenaikan tersebut tergantung pada masing-masing produsen rokok elektrik.
"Kami akan berdiskusi dulu. Kemudian, kami akan membawanya ke ahli hukum kami. Apabila pendapat kami betul, dalam arti ada cacat hukum dalam penetapannya ini, maka kami akan menempuh jalurnya sesuai hak kami sebagai warga negara," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati Christyana menegaskan pajak rokok bukan hal baru. Sebab, pajak rokok sudah ada dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
"Pajak rokok ini kebijakan atau sistemnya adalah piggyback taxes. Artinya, setiap ada cukai rokok maka itu terikut pajak rokok, 10% dari cukai rokok. Itu sudah dikenal atau sudah ada di UU 28/2009. Namun, belum dikenakan untuk yang elektrik," ujar Lydia ketika mengudara di Radio Suara Surabaya.
Lydia menyebut rokok elektrik sudah dikenakan cukai sejak 2018. Maka kembali kepada regulasi, sambung Lydia, pajak rokok sebagai piggyback taxes atas cukai rokok maka harus dikenakan pajak rokok.
Menurut Lydia salah satu pertimbangan pengenaan pajak rokok adalah asas keadilan. Hal ini mengingat rokok konvensional telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak 2014.
Lydia menyebut apabila ada pihak yang keberatan dengan pengenaan pajak rokok maka dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). (sap)