Suasana pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan permohonan pengujian formil atas UU 6/2023 perihal Penetapan Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
MK melalui Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023 menyatakan pengujian formil atas UU 6/2023 yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Untuk itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan putusan, Senin (2/10/2023).
Menurut MK, penetapan Perpu 2/2022 yang menjadi cikal bakal UU 6/2023 tidak melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa. Menurut MK, perpu merupakan hak prerogatif presiden dalam rangka menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa.
Setelah perpu ditetapkan, DPR memiliki kewenangan melakukan legislative review untuk menyetujui atau menolak perpu menjadi undang-undang.
Ketika perpu telah mendapatkan persetujuan, sejatinya perpu itu secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Penilaian atas parameter kegentingan yang memaksa adalah kewenangan DPR dan sudah selesai ketika DPR memberikan persetujuan.
Lebih lanjut, MK juga menilai lahirnya UU 6/2023 tidak melanggar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai meaningful participation. Menurut MK, RUU tentang penetapan perpu tidak dapat diperlakukan sama dengan RUU biasa.
Mengingat RUU tentang penetapan perpu memiliki karakter khusus dan berbeda dengan RUU biasa, tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan pada UU 12/2011 mengikat secara absolut atas RUU tentang penetapan perpu.
Perpu dibentuk sebagai respons atas ihwal kegentingan yang memaksa sehingga proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perpu perlu dibedakan pula. Oleh karena itu, proses meaningful participation tidak berlaku atas RUU tentang penetapan perpu.
"Proses persetujuan RUU penetapan perpu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat," ujar Guntur.
MK menyebut Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memang mewajibkan pembentuk undang-undang untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, utamanya pihak yang terdampak oleh suatu RUU. Namun, hal ini tidak bisa diterapkan terhadap perpu.
"Berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perpu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi," tutur Guntur membacakan putusan.
Dengan demikian, dalil pemohon yang menyatakan Perpu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
Perlu dicatat, terdapat 4 hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. (rig)