PERADILAN PAJAK

Komposisi Hakim Pengadilan Pajak Perlu Proporsional, Begini Alasannya

Muhamad Wildan
Jumat, 09 Juni 2023 | 10.45 WIB
Komposisi Hakim Pengadilan Pajak Perlu Proporsional, Begini Alasannya

Slide paparan yang disampaikan Founder DDTC Darussalam.

JAKARTA, DDTCNews - Komposisi hakim Pengadilan Pajak di Indonesia dinilai perlu lebih proporsional.

Saat ini, sebagian besar hakim Pengadilan Pajak merupakan mantan pegawai Kementerian Keuangan, terutama Ditjen Pajak (DJP) serta Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Founder DDTC Darussalam mengatakan komposisi hakim sebaiknya turut mempertimbangkan keterwakilan dari berbagai pihak.

“Komposisi hakim Pengadilan Pajak itu harus proporsional. Misalnya, berapa persen dari wajib pajak yang bisa diwakili, berapa persen dari akademisi, dan berapa persen yang memang bisa dari otoritas pajak," katanya, dikutip pada Jumat (9/6/2023).

Mengutip buku bertajuk Fundamentals of Taxation: An Introduction to Tax Policy, Tax Law, and Tax Administration yang ditulis oleh Pasquale Pistone, kepercayaan publik terhadap pengadilan bisa tergerus jika hakim yang diangkat memiliki hubungan dengan eksekutif.

“Banyak buku atau riset yang menyatakan seperti itu. Jadi, akan menurunkan kepercayaan," ujar Darussalam dalam diskusi publik bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak yang digelar oleh STH Indonesia Jentera.

Berkaca pada praktik di Afrika Selatan, Pengadilan Pajak di negara tersebut diisi oleh hakim dengan latar belakang beragam. Mulai dari akuntan, praktisi pajak, praktisi hukum, sampai dengan staf pajak perusahaan.

"Akan sangat menarik kalau Pengadilan Pajak itu komposisinya terstandardisasi dan mewakili semua pihak yang berkepentingan," tutur Darussalam.

Latar Belakang Pendidikan Hakim Pengadilan Pajak

Tak hanya mengenai latar belakang profesi, Darussalam memandang hakim pada Pengadilan Pajak sebaiknya tidak diwajibkan untuk memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum.

Dia berharap isu mengenai latar belakang pendidikan hakim ini dapat diantisipasi para pemangku kepentingan (stakeholder) menjelang diterapkannya sistem satu atap Pengadilan Pajak paling lambat pada 31 Desember 2026.

"Kalau persyaratannya hakim harus sarjana hukum, ini akan jadi gaduh. Nanti, bagaimana dengan teman-teman yang sudah berhak beracara di Pengadilan Pajak yang bukan dari S1 hukum?," kata Darussalam.

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus dialihkan ke MA paling lambat pada 31 Desember 2026.

Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan frasa Departemen Keuangan pada Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi MA yang secara bertahap dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2026.

Alhasil, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak selengkapnya berbunyi Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.