Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengeluarkan surat edaran (SE) terkait implementasi compliance risk management (CRM) dalam kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (2/10/2019).
SE yang dimaksud adalah SE Dirjen Pajak No. SE-24/PJ/2019. Beleid yang ditetapkan pada 11 September 2019 ini secara bersamaan mencabut SE Dirjen Pajak No. SE-02/PJ/2016 tentang Pembuatan Benchmark Behavioral Model dan Tindak Lanjutnya.
“SE Dirjen ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan penjelasan umum dalam rangka implementasi CRM dalam kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan di unit kerja Ditjen Pajak (DJP),” demikian bunyi penggalan isi SE itu.
CRM, seperti dikutip dalam SE tersebut, secara sederhana dapat digambarkan sebagai sebuah proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak (WP) yang dilakukan secara sistematis oleh DJP.
Pengelolaan itu dilakukan dengan membuat pilihan perlakuan (treatment) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan secara efektif sekaligus mencegah ketidakpatuhan berdasarkan perilaku WP dan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Dengan demikian, CRM sangat penting untuk membantu otoritas pajak mencapai tujuan strategis organisasi dengan memanfaatkan suatu alat bantu pengambilan keputusan.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan implementasi CRM merupakan kelanjutan dari program amnesti pajak dan transparansi informasi keuangan yang telah memungkinkan otoritas membangun profil risiko WP scara lebih canggih dan akurat.
Dalam SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan rincian ketentuan implementasi CRM dalam kegiatan ekstensifikasi, kegiatan pemeriksaan dan pengawasan, serta kegiatan penagihan pajak dengan surat paksa.
Beberapa media nasional juga menyoroti rencana pemerintah dalam menyusun kebijakan cukai hasil tembakau (CHT). Pemerintah telah memutuskan akan menaikkan tarif rata-rata hingga 23% pada 2020. Sementara, terkait dengan simplifikasi layer tarif CHT yang telah ditunda, pemerintah belum ada pembicaraan lebih lanjut.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dalam SE Dirjen Pajak No. SE-24/PJ/2019 disebutkan CRM memerhatikan risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP. Risiko dasar itu adalah risiko pendaftaran (registration), pelaporan (filing), pembayaran pajak (payment), dan kebenaran pelaporan (correct reporting).
“Semua langkah dalam proses CRM mengarah pada tingkat kepatuhan dan kepuasan WP yang lebih tinggi,” demikian bunyi penggalan isi SE tersebut.
Diferensiasi WP berdasarkan risiko kepatuhan, seperti diungkapkan Dirjen Pajak dalam SE Dirjen Pajak No. SE-24/PJ/2019, menjadi dasar pengembangan risk engine dalam CRM. Dengan demikian, WP dapat dipetakan secara sistematis sesuai best practice di dunia perpajakan internasional, terukur berdasarkan skor dan bobot risiko, dan objektif berdasarkan data.
Simplifikasi layer tarif cukai rokok (CHT) hingga saat ini belum dibahas oleh otoritas. Adapun layer tarif CHT yang berlaku sekarang ada 10, yaitu sigaret kretek tangan (4 layer), sigaret kretek mesin (3 layer), dan sigaret putih mesin (3 layer).
“Simplifikasi sama sekali tidak dibahas. PMK 156/2018 juga sudah tidak dibahas,” ujar Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto.
Hasil stress-test Moody’s Investors Service menunjukkan India dan Indonesia merupakan dua negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki risiko penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi. Dengan demikian risiko gagal bayar cukup tinggi.
“Di belakang dua negara tersebut, ada Singapura, Malaysia, dan China yang memiliki risiko gagal bayar yang tidak kalah besar,” kata Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody Rebaca Tan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta agar perusahaan-perusahaan di Indonesia meningkatkan kehati-hatian dan melihat dinamika lingkungan tempat mereka beroperasi. Kondisi perlambatan global, menurutnya, mengharuskan setiap korporasi untuk mengubah asumsi kondisi ekonomi agar bisnis tetap dapat menghasilkan keuntungan.
“Mereka harus meningkatkan kehati-hatian apakah kegiatan korporasi akan memunculkan aliran keuntungan yang diharapkan seperti semula,” katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya deflasi pada bulan lalu tidak mencerminkan adanya pelemahan daya beli masyarakat. BPS mengklaim deflasi yang terjadi sebesar 0,27% merupakan efek dari turunnya harga sejumlah komoditas pangan.
“Saya masih akan menyimpulkan tidak ada penurunan daya beli,” tegasnya. (kaw)