Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Rendahnya setoran pajak penghasilan (PPh) orang pribadi nonkaryawan yang rendah diakibatkan sebagian besar pendapatan ‘orang kaya’ berbentuk passive income. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (6/3/2019).
Passive income selama ini lebih banyak dikenai PPh final. Pada saat yang bersamaan, beberapa sektor seperti konstruksi dan properti juga menganut rezim PPh final. Hal inilah yang dinilai membuat fungsi pajak untuk redistribusi pendapatan justru tidak berjalan. Ketimpangan pun terjadi.
“Pendapatan [mereka] paling besar di mana? Deposito. Nah, kalau deposito itu di PPh final. Jadi tidak selalu PPh 25/29 itu merepresentasikan pendapatan mereka,” kata Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal.
Fakta ini didukung pula dengan harta yang dideklarasikan wajib pajak dalam kebijakan tax amnesty. Aset berupa tanah, bangunan, dan harta tidak bergerak lainnya masuk dalam kelompok tiga besar aset yang paling banyak dideklarasikan wajib pajak.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti terkait sistem Online Single Submission (OSS) yang belum optimal. Sistem yang menjadi tempat permohonan tax holiday ini akan diperbarui dengan teknologi yang lebih terkoneksi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Berikut ulasan berita selengkapnya
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi PPh OP nonkaryawan pada Januari 2019 tercatat senilai Rp340 miliar. Realisasi ini menyumbang 0,4% dari total penerimaan pajak pada periode tersebut dan tumbuh 19,3% secara tahunan. Capaian tercatat melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode sama tahun lalu 33,2%.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat sektor-sektor yang tidak hard to tax seharusnya dikenakan tarif umum, bukan PPh final. Apalagi, PPh final merupakan bagian dari withholding tax yang seharusnya bersifat sementara.
Mengacu pada hal tersebut, dia menilai sudah saatnya pemerintah mengevaluasi lagi pengenaan PPh final untuk sektor properti. Pengenaan skema umum, sambungnya, akan mencerminkan keadilan baik vertikal maupun horizontal.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengakui sistem OSS yang ada saat ini belum optimal. Menurutnya, investor harus bisa memanfaatkan OSS dari mana saja untuk mengurus perizinan secara online asal terkoneksi dengan internet.
“Perhatian OSS fase berikutnya yaitu sinkronisasi, koordinasi, harmonisasi dalam memfasilitasi investasi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Kami akan meluncurkan fase berikutnya dari OSS dalam Rakornas BKPM Tahunan dengan 560 BKPM Daerah,” jelasnya.
Kebijakan Post Border dinilai sebagai pemicu derasnya arus impor ke Tanah Air. Kebijakan yang bertujuan untuk menekan ongkos logistik dan dwelling time ini dinilai belum berjalan efektif. Kadin menilai kebijakan Post Border seharusnya diimplementasikan secara terbatas.
Perlambatan ekonomi global yang dipengaruhi performa China, Amerika Serikat, dan Eropa (G3) berisiko menurunkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5%. Perlambatan ekonomi global lebih dipengaruhi upaya deleveraging China dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. (kaw)