Ilustrasi. (DDTCNews)
MANILA, DDTCNews—Asosiasi perusahaan teknologi finansial di Filipina meminta pemerintah untuk menimbang ulang rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk barang dan jasa elektronik di negara tersebut.
Ketua Fintech Alliance.ph Angelito M. Villanueva menilai industri teknologi dan finansial (tekfin) seharusnya dikategorikan sebagai industri berkembang dan dikecualikan dari pengenaan PPN.
“Kami memahami pajak adalah sumber penghidupan setiap pemerintah. Namun, kebijakan ini memiliki potensi menghambat perkembangan industri digital di Filipina yang tengah berkembang,” katanya di Manila, Senin (8/6/2020).
Untuk diketahui, pemerintah mengajukan RUU Perpajakan Ekonomi Digital (House Bill No. 6765) untuk mengenakan PPN atas produk digital antara lain seperti jasa periklanan digital, konten berlangganan dan transaksi elektronik di e-commerce.
Dengan RUU tersebut, pemerintah Filipina diprediksi mendapatkan tambahan penerimaan sebesar P27 miliar atau setara dengan Rp7,57 triliun. Rencananya, tambahan dana tersebut bisa dipakai untuk mendanai penanganan pandemi Covid-19.
Meski begitu, Villanueva menilai keputusan untuk mengenakan PPN justru menghalangi pembelajaran digital, inovasi, dan kesiapan industri tekfin dalam negeri untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.
Apalagi, lanjutnya, industri digital merupakan sektor usaha dengan investasi padat modal yang berkelanjutan sehingga keuntungan dari investasi tersebut baru bisa diperoleh dalam waktu yang lama.
Dilansir dari bworldonline, Fintech Alliance.ph pun mengusulkan pengenaan PPN kepada produk digital dikenakan secara bertahap. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada UMKM yang mulai menjual produknya lewat platform digital.
Untuk diketahui, pemerintah Filipina berencana untuk mengenakan PPN sebesar 12% atas pemanfaatan produk digital mulai dari iklan, layanan berlangganan berbasis internet, hingga transaksi pada e-commerce. (rig)