Kantor pusat IRS di Washington, Amerika Serikat. (Foto: arstechnica.com)
WASHINGTON, DDTCNews – Otoritas pajak Amerika Serikat (Internal Revenue Services/ IRS) menilai digitalisasi ekonomi bisa menciptakan tantangan dalam menerapkan metode transfer pricing. Namun prinsip standar arm's-length masih menjadi pendekatan yang lebih baik untuk diterapkan.
Seperti dilansir Tax Notes International, Office of Associate Chief Counsel International IRS Joseph Dewald setuju terhadap skema formularium apportionment yang digunakan sebagai solusi untuk memajaki ekonomi digital.
“Formularium apportionment justru bisa berpotensi membawa masalah, termasuk juga soal reliabilitas karena mungkin skema ini tidak perlu fokus pada kontribusi dan nilai tambah dari para pihak lain,” katanya seperti dilansir Tax Notes International Vol.91 No.4, Senin (23/7).
Lebih lanjut dia menyatakan perkembangan digitalisasi bisa menimbulkan penilaian yang cukup rumit dan menimbulkan berbagai masalah. Maka dari itu, IRS masih mempertimbangkan terkait transaksi dengan yang dilakukan secara cloud diperlakukan sebagai layanan atau justru termasuk sewa.
Menurutnya aturan yang ada sudah cukup memadai untuk menentukan pricing atas transaksi perusahaan intragrup. Apalagi peraturan yang berlaku memungkinkan untuk mencari strategi lain dalam menentukan pendekatan yang tepat.
“Saya pikir semua aturan yang ada cenderung mencoba mendapatkan satu jawaban sederhana dan itu adalah berapa harga arm's-length, dan berapa harga pihak tidak terkait akan setuju jika mereka terlibat dalam transaksi ini?” ungkapnya.
Dewald juga mencatat oposisi AS terhadap pendekatan yang diusulkan di Uni Eropa, termasuk arahan yang diusulkan Komisi Eropa soal pajak omzet 3% pada layanan digital dan aturan jangka panjang untuk memaksakan pajak perusahaan pada perusahaan dengan kehadiran digital yang signifikan.
Dalam memperhatikan pentingnya peningkatan aset tak berwujud dan cara berbeda untuk menciptakan nilai digitalisasi, tindakan jangka panjang yang diusulkan Komisi Eropa menuntut ambang batas Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang lebih rendah khusus untuk perusahaan jasa digital.
Menurut Dewald, pendekatan OECD yang ditetapkan untuk pengalokasian laba mengatur perusahaan dengan hanya kehadiran digital tetap harus memberikan sedikit keuntungan atau menyetor pajak kepada yurisdiksi, seperti halnya diperlakukan sebagai BUT.
Jika ada BUT, otoritas pajak harus menentukan berapa banyak keuntungan yang dialokasikan untuk BUT. Untuk melakukan ini, petugas umumnya memperlakukan BUT sebagai entitas terpisah dari perusahaan dan menerapkan prinsip arm's-length ke transaksi yang terjadi di antara perusahaan.
Untuk menerapkan prinsip arm's-length tersebut, petugas pajak harus mengetahui di mana fungsi, aset, dan risiko dari perusahaan. Cara yang biasanya dilakukan adalah dengan menerapkan skema significant people function.
“Jadi jika Anda memiliki skala tanpa massa di suatu negara, tetapi kehadirannya meningkat ke tingkat BUT, alokasi keuntungan BUT mungkin sangat kecil karena mereka tidak akan memiliki banyak fungsi orang yang terjadi di negara mereka,” pungkasnya. (Gfa/Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.