PERKEMBANGAN respons instrumen pajak di berbagai negara memicu sejumlah studi terkait kebijakan yang tepat dalam mengatasi dampak yang disebabkan Covid-19. Sebab, pandemi ini tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tapi juga sektor ekonomi secara keseluruhan.
Dalam hal ini, negara dengan karakteristik penghasilan lebih rendah yang paling terkena imbasnya. Kecenderungan ini memicu Overseas Development Institute (ODI) yang berpusat di London, Inggris melakukan studi instrumen pajak yang sebaiknya dilakukan oleh kelompok negara tersebut.
Studi tersebut dipublikasi baru-baru ini dalam laporan yang berjudul ‘How Tax Officials in Lower-Income Countries Can Respond to the Coronavirus Pandemic’. Penelitian dilakukan oleh Iain Steel dan David Phillips dengan berbasis pada anggapan bahwa jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi pada negara-negara berkembang relatif lebih sedikit ketimbang negara-negara lain pada umumnya.
Data tersebut dapat berarti dua hal, negara-negara tersebut memiliki potensi jumlah kasus yang akan terus bertambah atau data yang sekarang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan Steel dan Phillips dalam tulisannya, negara-negara berkembang harus memberikan respons cepat sebelum keadaan semakin memburuk.
Menurut kedua penulis, aspek utama yang perlu diperhatikan adalah dampak penerimaan dengan adanya Covid-19. Meskipun berbagai relaksasi akan dibutuhkan untuk meringankan dampak ekonomi dan kesehatan, pemerintah negara-negara berkembang harus sadar betul bahwa instrumen pajak hanya merupakan salah satu bentuk respons di antara kebijakan-kebijakan lainnya.
Dengan demikian, penelitian tersebut menyarankan agar insentif pajak diberikan secara terbatas dan diarahkan pada wajib pajak dengan karakteristik tertentu serta dalam batas waktu tertentu saja. Sebab, relaksasi pajak yang diberikan secara luas justru membahayakan penerimaan negara sehingga mengurangi kemampuan pemerintah dalam memberikan kebijakan belanja atau subsidi secara langsung terhadap masyarakat terdampak.
Lebih lanjut, setiap negara berkembang perlu berhati-hati dalam mempelajari kebijakan yang diambil oleh negara maju. Hal ini dikarenakan negara berkembang memiliki keterbatasan lebih besar dalam merelaksasi sistem pajaknya. Berbagai keringanan yang diberikan negara-negara maju perlu dikontekstualisasikan ke negara berkembang berdasarkan prioritas dan kemampuan.
Oleh sebab itu, negara-negara berkembang disarankan untuk memetakan setiap opsi insentif pajaknya berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Kemudian, tujuan tersebut dipelajari apakah dapat diatasi dengan kebijakan nonpajak secara lebih efektif dan efisien. Jika memang insentif pajak merupakan opsi terbaik dari setiap pilihan yang ada, baru kemudian ditentukan desain dan jangka waktu yang tepat.
Dengan demikian, setiap relaksasi pajak dapat diarahkan secara terukur sesuai dengan kebutuhan paling mendesak. Sebagaimana disampaikan oleh Steel dan Phillips, terdapat tiga target utama yang perlu disasar insentif pajak.
Ketiga target itu adalah para pelaku bisnis yang memang terancam merugi atau bangkrut, karyawan perusahaan yang terancam kehilangan pekerjaannya, dan sektor kesehatan yang membutuhkan persediaan dalam jumlah besar secara cepat.
Untuk relaksasi pajak yang bersifat umum seharusnya hanya diberikan yang bersifat administrasi, seperti pelaporan pajak dan pemenuhan hal-hal administratif lainnya. ODI tidak menyarankan kebijakan yang bersifat penurunan beban pajak diberikan kepada wajib pajak secara luas dan permanen.
Secara umum, studi ini disajikan secara sistematis dan menarik untuk dipelajari dalam konteks saat ini. Laporan tersebut layak dibaca oleh setiap pemangku kepentingan perpajakan dan masyarakat secara umum. Melihat pandemi yang sepertinya masih berlangsung, sepertinya berbagai studi kebijakan dalam konteks pandemi Covid-19 akan terus berkembang. *