Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan menyatakan rencana pengenaan pajak karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan pajak karbon menjadi bagian dari kebijakan fiskal yang digunakan pemerintah sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
"Implementasi pajak karbon ini juga menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon seperti Inggris, Jepang, dan Singapura" katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (13/10/2021).
Febrio menuturkan pengenaan pajak karbon sebagai bagian dari komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Pajak karbon, lanjutnya, juga menjadi bukti konsistensi komitmen pemerintah mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sebelumnya, pemerintah juga sudah memulai percepatan investasi hijau melalui berbagai insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN untuk pengembangan energi terbarukan.
Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan serta sektor energi dan transportasi yang mencakup 97% dari target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Selain itu, Indonesia juga menargetkan emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060.
Febrio menilai pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien serta ramah lingkungan.
Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon juga dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Meski demikian, lanjutnya, tujuan utama pengenaan pajak karbon yakni mengubah perilaku pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
"Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dalam jangka menengah dan panjang," ujarnya.
Pada tahap awal, pajak karbon akan mulai diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).
Tarif senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batu bara.
Febrio menyebut pemerintah memahami transisi hijau sangat penting sehingga dalam mekanisme pengenaannya wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang telah dibelinya di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.
Dengan penerapan pajak karbon, sambungnya, Indonesia akan menjadi penentu arah kebijakan global dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan.
"Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan, baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur" tuturnya. (rig)