Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSAÂ Setyo Budiantoro. (Foto: DDTCNews)
KRISIS global 2008 dan maraknya isu penghindaran dan penggelapan pajak global telah sedemikian rupa mengonsolidasikan kekuatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk turut bersuara dan memberi tekanan terhadap proses pengambilan kebijakan perpajakan.
Kini keterlibatan LSM dalam area pajak sudah semakin mewabah dengan organisasi pergerakan yang  semakin kuat. Untuk menggali lebih dalam tentang permasalahan ini, beberapa waktu lalu DDTC News menyambangi Setyo Budiantoro, Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSA. Petikannya:
Perhatian LSM terhadap isu perpajakan kian menguat. Kenapa?
Kesadaran untuk melepaskan ketergantungan pada dukungan internasional, membawa pemerintah suatu negara untuk memperkuat pendanaan domestiknya. Salah satu instrumen yang digunakan yaitu dengan meningkatkan penerimaan pajak yang menjadi penyumbang terbesar penerimaan negara.
Hal tersebut membuat organisasi LSM tergerak andil dalam menangani permasalahan pajak yang ada. Kami PRAKARSA misalnya bekerja sama dengan Tax Justice Network dan lembaga nirlaba lain untuk saling sharing knowledge agara dapat memahami sistem perpajakan antarnegara.
Memang, sejak 2011 pajak menjadi topik hangat di kalangan LSM, sehingga kami menginisiasi gerakan ini di Indonesia. Keikutsertaan PRAKARSA dalam forum-forum internasional semakin menyadarkan bahwa pembangunan yang sustainable, keberlanjutan itu, harus dimulai melalui instrumen perpajakan.
Maksudnya?
Begini. Banyaknya aliran dana gelap yang keluar dari Indonesia dengan sendirinya menghambat kinerja perekonomian di dalam negeri. Meningkatnya aliran dana gelap dari transaksi ilegal ini akan berdampak langsung pada penerimaan pajak.
Padahal, penerimaan pajak menjadi instrumen penopang utama penerimaan negara di Indonesia. Dengan demikian, dampaknya juga akan terlihat pada penanggulangan kemiskinan. Berkurangnya penerimaan pajak akan menurunkan kapasitas pemerintah dalam menurunkan kemiskinan.
Di sisi lain, aliran dana gelap ini juga mempengaruhi kebijakan suku bunga dan nilai tukar. Melalui suku bunga, aliran masuk atau keluarnya dana dari satu negara ke negara lain bisa diatur. Artinya, kian tinggi keuntungan dari selisih nilai tukar, makin banyak pula dana gelap yang mengalir ke sana.
Semakin besar dana spekulatif yang masuk ke dalam satu pasar, maka semakin rentan pula pasar tersebut. Situasi ini dengan sendirinya akan mendorong perang suku bunga dan nilai tukar. Dampak jangka panjang, situasi ini akan menyebabkan krisis keuangan.
Oke. Lalu isu pajak apa saja yang jadi perhatian para LSMÂ ?
Isu kompetisi pajak kini tak kalah hangat disuarakan oleh LSM di belahan dunia, termasuk Indonesia. Banyak negara berlomba-lomba menurunkan tarif PPh Badan di negaranya. Indonesia di sinyalir akan menurunkan tari PPh Badan dari 25% menjadi 18%.
Rencana pemangkasan tarif itu bertujuan untuk mengantisipasi agar kompetisi pajak tidak saling mencederai. Â Meski wacana penurunan tarif PPh badan masih dalam pembahasan, namun rencana kebijakan ini menarik untuk dikaji terutama oleh LSM yang berada dalam Asia Tenggara.
Selain itu, pokok yang menjadi dasar permasalahan pajak di tanah air adalah maraknya kebocoran pajak. Banyak perusahaan multinasional diduga tidak membayar pajak semestinya. Data Tax Justice Network menyebut sekitar Rp3.000 triliun aset yang keluar dari Indonesia tidak dipajaki.
Laporan Global Financial Integrity juga mencatat aliran dana haram yang dihasilkan dari penghindaran pajak dan aktivitas ilegal di Indonesia dan dikirim ke luar negeri mencapai US$6,6 triliun sepanjang satu dekade terakhir.
Hanya dalam kurun 2003 sampai 2012, aliran dana illicit dari Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat dari US$297,41 miliar menjadi US$991,3 miliar, atau secara rata-rata meningkat 9,4% per tahun, lebih tinggi dari lompatan pertumbuhan ekonomi kita.
Dan dalam laporan tersebut, Indonesia menduduki peringkat ketujuh terbesar sebagai negara asal dana illicit di seluruh dunia. Itu berarti, setiap tahun Indonesia kehilangan uang hingga Rp240 triliun atau setara kurang lebih 4% dari produk domestik bruto. Masak yang seperti ini kita biarkan?
Bagaimana LSM mengatasi permasalahan tersebut?
Saat ini kami sedang memperlajari Common Consolidated Corporate Tax Base di Eropa. Harapannya hal ini dapat diterapkan di Asean. Kami akan menyuarakan hasil kajian atau temuannya terhadap isu-isu perpajakan yang sedang terjadi, terutama untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Kalau kita lihat pergerakan LSM di luar negeri, hukuman moral sebetulnya dapat dijadikan suatu solusi dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Selain itu, masyarakat Indonesia yang masih belum ‘melek’ pajak juga menjadi tantangan bagi kami untuk terus melakukan edukasi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.