Kepala Kanwil DJP Jatim II Lusiani. (Foto: DJP)
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 memberikan banyak pelajaran kepada otoritas mengenai cara yang paling optimal dalam mengelola penerimaan pajak, tak terkecuali pada Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jawa Timur (Jatim) II.
Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak pada tahun ini, pengawasan pembayaran masa dan sektor-sektor yang beruntung di tengah pandemi akan ditingkatkan. Di sisi lain, DJP masih akan terus memberi insentif bagi wajib pajak yang terdampak Covid-19.
Untuk menggali lebih jauh mengenai kebijakan dan strategi yang akan dijalankan, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jatim II Lusiani. Berikut kutipannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak Kanwil DJP Jatim II pada 2020?
Ketika mendapat target penerimaan di awal tahun itu kami merasa optimistis bisa mencapainya. Pada kuartal pertama, perfoma kami cukup baik. Tiba-tiba, waktu sedang semangat-semangatnya, bulan Maret ada pandemi.
Kami semua waktu itu tidak mengerti. Kan enggak ada yang tahu pandemi ini sakitnya gimana dan cara menghindarinya gimana. Dari situ dimulai kantor DJP seluruh Indonesia menerapkan WFH (work from home) dan WFO (work from office). Lalu, menerapkan juga protokol kesehatan dengan segala macam perlengkapannya.
Mulai kuartal kedua, karena kegiatan terkendala, diperlukan penyesuaian-penyesuaian dan mulai melambat [kinerjanya]. Namun, pekerjaan tetap kami lakukan dengan berbagai cara. Kami banyak sekali memanfaatkan media elektronik.
Alhamdulillah, untuk SPT, dari tahun ke tahun kami sudah siap secara online. Jadi, tidak terlalu berpengaruh. Hanya untuk beberapa kegiatan, terutama penegakan hukum, seperti pemeriksaan dan sebagainya itu sulit dilaksanakan secara daring. Ada hal-hal tertentu yang kami perlu hadir untuk bertemu wajib pajak.
Namun, alhamdulillah, akhir 2020 dari target sebesar Rp19,5 triliun, kami [realisasinya] mencapai Rp18,9 triliun atau sekitar 96,92%. Kami beberapa kali dipantau terus oleh pusat, dari Pak Dirjen [Pajak].
Kami selalu ditanya berapa dari target itu yang bisa dicapai. Komitmen kami waktu itu bisa mencapai 97%. Alhamdulilah, meski tidak bulat 97%, itu 96,9% bisa kami sampaikan ke negara ini.
Secara makro di negara kita, pertumbuhan ekonominya negatif. Jadi, kami berusaha. Kami komitmen sesuai dengan Dirjen Pajak agar kontraksi penerimaannya tidak lebih dalam dari -10% dan akhirnya kita bisa -8,6% saja, secara brutonya -5,96%. Pandemi ini sangat-sangat berpengaruh terhadap penggalian potensi perpajakan kita.
Sektor apa yang berperan besar menyokong penerimaan di Kanwil DJP Jatim II tahun lalu? Adakah sektor yang bertahan bagus pada masa pandemi?
Walaupun secara keseluruhan negatif di kala pandemi ini, secara nasional itu tidak semua usaha terdampak. Terkadang ada orang yang mendapatkan rezeki, seperti contohnya sektor alat kesehatan.
Biasanya kan rata-rata saja, tapi begitu pandemi kan orang mencari masker dan sebagainya. Bahkan ada perusahaan yang beralih menjadi penyedia alat kesehatan. Jadi, itu sektor yang tumbuh positif dan berkembang baik.
Oleh karena masyarakat kita banyak yang diam di rumah, jasa ekspedisi atau pengiriman barang pada sektor transportasi dan pergudangan itu cukup baik kontribusinya terhadap penerimaan pajak.
Secara nominal aslinya enggak terlalu kelihatan [penerimaan dari] sektor alat kesehatan, tapi kami banyak dibantu sektor transportasi dan pergudangan serta pertanian karena [saat] pandemi, orang tetep perlu makan. Yang paling terdampak itu industri pengolahan perdagangan dan administrasi pemerintahan.
Bagaimana karakteristik wajib pajak di Kanwil DJP Jatim II? Apakah literasi dan kepatuhan wajib pajaknya sudah cukup baik?
Alhamdulillah, kepatuhannya cukup baik. Untuk 2020, kepatuhan formal kami sebesar 71,56%. Dari wajib pajak yang wajib SPT di Kanwil DJP Jawa Timur II sebanyak 1,09 juta, yang lapor SPT Tahunan ada 781.000 wajib pajak. Jadi, ada 71,56%.
Jadi, cukup baik. Kembali lagi, kami sudah menyiapkan pelaporan daring. Jadi, kami tinggal mengingatkan lewat SMS blast ke wajib pajak, telepon dan email. Kami juga ada pendampingan untuk pengisian SPT pada 2020 di perusahaan besar dengan jumlah karyawan di atas 100 orang. Itu pun secara online. Jadi, itu membantu juga.
Secara nasional, kepatuhan wajib pajak karyawan naik signifikan, badan dan orang pribadi nonkaryawan turun. Bagaimana dengan Kanwil DJP Jatim II?
Kalau di sini tidak signifikan karena turun-naiknya stabil. Namun, memang kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan dan karyawan itu lebih tinggi yang karyawan. Untuk karyawan kami bimbing mengisi SPT, kalau nonkaryawan kan harus satu persatu ya.
Seberapa besar animo wajib pajak di Kanwil DJP Jatim II untuk memanfaatkan insentif?
Ya bisa dibilang cukup baik, tidak mengecewakan. Waktu awal-awal kami menghubungi perusahaan, itu UMKM, kan seharusnya banyak yang dapat. Namun, kebanyakan mereka belum mengerti sehingga perlu sosialisasi apa untungnya bagi mereka.
Oleh karena mungkin di sisi mereka berpikir kan ‘apa lagi ini orang pajak’. Disangka mau majaki lagi. Padahal, ini untuk keuntungan mereka. Jadi, di awal kurang, tapi pada akhirnya banyak yang ikut pemanfaatan insentif ini.
Untuk pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), ada 3.645 wajib pajak yang ikut. Kemudian, untuk PPh final UMKM DTP, ada 6.575 wajib pajak yang ikut. Untuk PPh Pasal 22 Impor, ada 391 wajib pajak. Untuk pengurangan angsuran PPh Pasal 25, ada 1.819 wajib pajak.
Adanya selisih (gap) pertumbuhan penerimaan pajak bruto dan neto. Apakah ini karena pemberian restitusi PPN dipercepat?
Sepertinya memang restitusi PPN dipercepat. Itu cukup berpengaruh terhadap penerimaan kami. Memang pada 2020 itu, kami dianjurkan untuk membantu mempercepat.
Jadi, restitusi dipercepat itu dipercepat lagi. Pemerintah juga berpikir mereka butuh memutar uangnya agar perusahaan tetap jalan. Jadi, kami berikan restitusi dipercepat itu. Enggak ada kami tahan-tahan, sama sekali.
Kami juga memikirkan perekonomian dan keberlangsungan perusahaan. Ini karena bagi kami di pajak, kami tidak mau wajib pajak itu sampai mati. Kalau wajib pajak mati maka pajaknya juga mati.
Enggak ada yang bayar pajak. Jadi, kami bantu supaya tetap jalan operasionalnya. Jadi, semua sama-sama berusaha, sama-sama berkorban. Kalau perusahaan bisa tumbuh lebih bagus maka bayar pajaknya juga lebih bagus.
Tahun lalu, kontribusi penerimaan pajak dari fungsi pemeriksaan dan penagihan secara nasional mencapai 3—4%. Bagaimana di Kanwil DJP Jatim II?
Kami sedikit dibawah nasional. Effort dari pemeriksaan untuk Kanwil DJP Jatim II kontribusinya hanya 2,66% dari total penerimaan. Seperti tadi, untuk penegakan hukum, termasuk pemeriksaan, sulit kami laksanakan secara daring tanpa tatap muka.
Waktu awal pandemi, kami tidak boleh kemana-mana. Instruksi dari pusat itu ‘stay where you are’. Bisa dibilang untuk pemeriksaan, kami hanya memeriksa administrasi yang ada di kantor.
Kami tidak bisa klarifikasi atau mencari data dari wajib pajak atau pihak terkait lainnya. Baru pada akhir-akhir 2020, kami mulai bergerak sedikit demi sedikit. Namun, kami bisa menyelesaikan dengan kontribusi sebesar 2,66%.
Pandemi ini, saya melihatnya untuk pemeriksaan dan penegakan hukum, besar pengaruhnya. Ini karena kami tidak bisa ke lapangan ketemu wajib pajak. Pada akhir 2020, kami mulai keluar tapi tetap membatasi. Jadi, diusahakan jangan lama lama.
Terus, kalau berpergian dengan mobil pun kami batasi. Jangan ramai-ramai. Di lokasi sana dibatasi dan kalau bisa tidak menginap. Alhamdulillah, tahun lalu tetap jalan. Kami buat perencanaan sehingga waktu kami berangkat, bisa seminimal mungkin dan bisa diyakinkan wajib pajaknya untuk bertemu.
Berkaca dari kinerja tahun lalu, apa yang akan dilakukan Kanwil DJP Jatim II untuk mengoptimalkan realisasi penerimaan tahun ini?
Rencana 2021 kami seperti 2020. Kami tetap mengadakan pengawasan terhadap pembayaran masa. Jadi, kami tidak menunggu hingga akhir tahun. Semua pembayaran masa dari wajib pajak akan diawasi oleh AR (account representative).
Data approweb juga terus meningkat sehingga pemanfaatannya juga akan dioptimalkan. Data ini kan bukan hanya dari kami. Kami bisa matching data dengan unit lain. Kami awasi secara sektoral juga. Jadi, AR-AR juga diarahkan secara sektoral, secara kewilayahan, dan secara tematik. Kami awasi wajib pajak high wealth individual.
Ini juga tahun ketiga joint program DJP—DJBC (Ditjen Bea dan Cukai)—DJA (Ditjen Anggaran). Kami bersama melakukan pengawasan dan juga joint analysis dan audit. Ini karena kan wajib pajak kami hampir sama.
Jadi, sama-sama bersinergi untuk mengumpulkan penerimaan negara. Ada juga kerja sama DJP, DJPK (Ditjen Perimbangan Keuangan), dan Pemda (pemerintah daerah).
Tahun ini ada kemungkinan wajib pajak mencatatkan penurunan angsuran PPh Pasal 25 atau nihil. Sumber penerimaan apa yang masih bisa dioptimalkan?
Kami di DJP kan tidak memaksa wajib pajak kalau rugi tetap harus bayar pajak. Jadi sesuai dengan proporsinya. Kalau mereka terutang pajak berarti harus bayar, kalau rugi dan harus restitusi kan ya kami harus kembalikan.
Kami tetap memanfaatkan data DJP. Kami matching data antara pemotongan/pemungutan, PPN (pajak pertambahan nilai), dan saat ini banyak institusi dalam dan luar negeri yang mengirim data ke DJP. Dari kantor pusat, data itu diolah dan masuk ke sistem kita di daerah. Jadi, data itu kami analisis dan gunakan untuk penggalian.
Kami perhatikan juga sektor mana yang tumbuh bagus. Itu akan menjadi perhatian teman-teman di KPP. Kalau rugi tetap kami bina. Tidak kami haruskan bayar pajaknya. Kalau rugi tetap bayar pajak itu kan akhirnya juga harus direstitusi.
Untuk tahun ini, kita ditargetkan dapat Rp22,25 triliun, tumbuh 17% dari realisasi 2020. Saya optimistis target ini tercapai. Dari tanda-tandanya insentif perpajakan itu kan diperpanjang sampai Juni 2021. Berarti kan ada optimisme untuk Juli dan setelahnya sudah selesai pandeminya.
Tahun lalu, 9 dari 16 KPP di Kanwil Jatim II bisa mencapai target 100%. Sebanyak 9 itu di atas 100%. Lainnya juga cukup tinggi, di atas 90%. Hanya ada 1 [KPP] yang 87% kalau tidak salah. Jadi, saya yakin teman-teman di KPP akan tetap berusaha dan menunjukkan prestasinya yang baik sehingga target penerimaannya tercapai.
Awal Maret tahun lalu, otoritas telah menerapkan proses bisnis pengawasan berbasis kewilayahan. Apakah sudah berdampak pada Kanwil DJP Jatim II?
Tahun lalu, sebagian sudah menerapkan pengawasan berbasis kewilayahan. Tahun ini akan lebih diintensifkan. Ada AR pengawasan kewilayahan dan ada AR wajib pajak strategis.
Di Kanwil DJP Jatim II, KPP Madya-nya juga akan bertambah. Nanti akan ada KPP Madya Gresik mulai tahun ini pada bulan Mei. Sekarang, kami sedang persiapan untuk memilah-milah wajib pajaknya.
Untuk pengawasan berbasis kewilayahan, yang sulit ini dari sisi luas wilayahnya. Oleh karena itu, ada KP2KP membantu. Jadi, kami tetap mempertimbangkan luas wilayah dan kemampuan AR. Dengan KPP Madya menjadi 2 nanti akan mengurangi beban KPP lainnya. KPP Pratama akan lebih konsentrasi ke penguasaan wilayah.
Dari sisi kesiapan, semua sudah siap dan sudah melaksanakan. Seperti tadi, hanya beberapa yang masih menunggu kapan dimulainya KPP Madya baru sehingga wajib pajak sebagian kan nanti digeser ke situ. Sebagian, yang selama ini di Gresik Utara, akan dipindah ke Gresik Selatan atau KPP lain. Itu akan ada sedikit perubahan.
Untuk KPP Madya Gresik, sudah ada Kepdirjen Pajak KEP-28/PJ/2021 tertanggal 5 Februari 2021. KPP Madya Gresik itu SMO (saat mulai operasi)-nya per tanggal 3 Mei 2021. Jadi, tinggal 2 bulan. Beberapa kali kami persiapan rapat-rapat untuk KPP Madya ini.
Nanti akan ada sekitar 2.000 wajib pajak di 2 KPP. Untuk menyeimbangkan KPP Madya yang lama dan yang baru beroperasi, kemungkinan nanti akan ada yang ditukar wajib pajaknya. Kami melihat wilayahnya karena selama ini Madya Sidoarjo itu wajib pajaknya dari seluruh Kanwil DJP Jatim II.
Sekarang akan kami lihat. Jangan sampai yang jauh kayak di Madiun itu ikut ke KPP Madya Sidoarjo. Lebih dekat kan ke Gresik. Jadi, akan ada perubahan dari KPP Madya Sidoarjo. Kami usahakan setiap wajib pajak dapat KPP Madya yang dekat dari lokasinya. Kasihan kalau jauh padahal ada [KPP] Madya yang lebih dekat.
UU Cipta Kerja resmi diundangkan. Beberapa aturan pelaksananya juga telah dirilis. Apa dampak yang diharapkan ke depan?
Kami akan mengikuti UU yang berlaku. UU Cipta Kerja kan berlaku sejak November. Jad, kami sudah mengikuti. Di pajak kan banyak yang terkait dengan tarif dan sanksi.
Seperti contohnya untuk pengungkapan pada UU KUP Pasal 8 ayat (3) yang awalnya 150% jadi 100%. Kan turun. Itu kami ikut. Seperti saya sampaikan. Itu akan berpengaruh terhadap penerimaan tapi yang akan kami akan upayakan adalah pelaksanaan UU sehingga amanah yang diberikan bisa tercapai. (Kaw/Bsi)