DENGAN desain desentralisasi fiskal Indonesia yang berlaku hingga sekarang, ada keputusan-keputusan yang lebih otonom atas pengeluaran atau belanja daerah. Keputusan belanja itu disepakati pemerintah daerah bersama DPR.
Bagaimana dengan penerimaannya? Pos penerimaan yang besar masuk ke APBN dan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Setelah masuk, penerimaan tersebut didistribusikan kepada tiap daerah dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk mengurangi ketimpangan.
Dengan desain tersebut, apakah kinerja pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) menjadi tidak terlalu penting? Justru makin penting. Tidak mengherankan jika salah satu pilar penyusunan UU HKPD adalah better local taxing power.
Dalam wawancara eksklusif dengan DDTCNews, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan better local taxing power sangat diperlukan untuk menimbulkan koneksi yang lebih kuat antara pemerintah daerah dan penduduknya.
Semangat untuk menciptakan PDRD yang lebih baik itu terlihat dalam UU HKPD. Tidak semata-mata untuk kepentingan penerimaan, pengaturan didesain agar segala bentuk pemungutan PDRD sejalan dengan kepentingan nasional negara kesatuan.
Pada 2023, urusan PDRD diproyeksi akan menjadi salah satu agenda yang menyibukkan. Hal ini dikarenakan peraturan daerah (perda) mengenai PDRD yang disusun berdasarkan UU PDRD masih tetap berlaku paling lama 2 tahun sejak UU HKPD diundangkan.
Dengan demikian, mulai 5 Januari 2024, seluruh perda terkait dengan PDRD disusun berdasarkan UU HKPD. Artinya, pemerintah daerah hanya memiliki sisa waktu 1 tahun untuk penyesuaian perda sesuai dengan ketentuan dalam UU HKPD. Pemerintah pusat juga akan sibuk melakukan evaluasi.
Berdasarkan pada amanat Pasal 94 UU HKPD, seluruh jenis PDRD yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota harus diatur dalam 1 perda saja. Dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah mengacu pada perda tersebut.
Artinya, tidak boleh lagi ada 1 perda untuk 1 jenis pajak dan retribusi daerah. Apalagi, dalam UU HKPD, pemerintah daerah secara total mempunyai kewenangan memungut 14 jenis pajak dan 18 jenis retribusi.
Momentum penyusunan perda ini seharusnya dipakai untuk pemerintah daerah dan DPRD melihat potensi yang ada di daerahnya. Harapannya, penetapan jenis, subjek, objek, tarif, wilayah pemungutan, dan lainnya dalam perda menggambarkan seluruh potensi daerah.
Desain pengaturan yang tepat dalam perda pada akhirnya akan berkorelasi dengan optimalisasi penetapan target penerimaan PDRD dalam APBD tiap tahun. Terlebih, penetapan target paling sedikit mempertimbangkan kebijakan makroekonomi daerah dan potensi PDRD.
Mengacu pada DDTC Working Paper bertajuk Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort, sebagian besar daerah berhasil mengumpulkan pajak daerah melebihi target meskipun cenderung memiliki tax effort yang rendah. Artinya, belum optimal.
Tidak dimungkiri, upaya penyusunan pengaturan dalam perda dan penetapan target membutuhkan riset dan analisis yang baik. Riset dan analisis diperlukan untuk memberikan gambaran kondisi dan berbagai potensi yang ada di daerah.
Dengan riset yang baik, pemerintah daerah dan DPRD juga dapat menciptakan regulasi PDRD yang adil bagi masyarakat. Jika merasa adil, masyarakat akan dengan sukarela membayar pajak dan retribusi sebagai wujud kontribusinya dalam membangun daerah.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan DPRD perlu sepakat dengan adanya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Kecakapan tidak hanya dari sisi hilir operasional pelaksanaan regulasi, tetapi juga pada saat penyusunan regulasi dan penentuan target penerimaan.
Waktu setahun ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah daerah. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat juga diharapkan segera menyelesaikan beberapa regulasi turunan UU HKPD yang turut menjadi acuan penyusunan perda oleh pemerintah daerah. (kaw)