PERKEMBANGAN skandal perpajakan dalam konteks pajak internasional terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Panama Papers, Lux Leaks, Swiss Leaks, hingga jumlah fantastis laba luar negeri (offshore profits) dari perusahaan multinasional seperti Google, Microsoft, IBM, Apple dan Amazon, sampai sekarang masih menjadi bahan pembicaraan khalayak.
Situasi ini antara lain merefleksikan bahwa perencanaan pajak (tax planning) yang mereka lakukan selalu mendahului kebijakan dan administrasi pajak yang ada. Bahkan, dengan bantuan teknologi, para raksasa multinasional itu juga dimungkinkan berada beberapa langkah di depan dibandingkan dengan peraturan pajak yang berlaku.
Simpulan sederhana ini tentu tidak berlebihan. Sebanyak 73.954 halaman yang ada dalam undang-undang perpajakan federal Amerika Serikat pun masih belum dapat memberikan sistem pajak yang memadai untuk mencegah sekaligus menangkap perpindahan laba (profit shifting) yang dilakukan oleh Apple ke Irlandia, ataupun profit shifting Amazon ke Eropa.
Walaupun ekonomi digital secara tersendiri tidak menciptakan isu-isu baru di luar konsensus Program Aksi Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Perpindahan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/ BEPS) yang telah disepakai OECD dan G20, namun ekonomi digital praktis kian memperuncing isu-isu yang sudah berkembang. Paling tidak ada tiga hal yang bisa menjelaskan situasi ini.
Pertama, ekonomi digital pada dasarnya bersifat bergerak (mobile) dan tidak berwujud. Sifat dasar ini menyebabkan kehadiran fisik suatu unit atau bentuk usaha di suatu negara atau pasarnya tidak lagi diperlukan. Karakter inilah yang membedakan bisnis ekonomi digital dengan bisnis tradisional yang berwujud yang bersifat brick and mortar.
Dengan sifat bergerak dan teknologi yang memungkinkan komunikasi jarak jauh, maka bisnis ekonomi digital tak dihalangi oleh batas-batas negara. Karena itu, usaha atau bisnis ekonomi digital bisa dengan mudah memindahkan utang pajaknya ke negara bertarif pajak rendah (tax haven) bahkan ke yuridiski dengan regulasi yang sangat longgar (stateless jurisdiction).
Kedua, adanya sifat anonim dalam bisnis ekonomi digital yang pada gilirannya mengakibatkan tidak adanya rekam dokumen (paper trail) transaksi yang memadai serta sulitnya mengidentifikasi lokasi dan pelanggan untuk keperluan administrasi perpajakan dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN).
Situasi seperti ini tentu sangat menyulitkan pelaksanaan penghitungan penghasilan kena pajak. Belum lagi, sejalan dengan sifat anonim itu, terdapatnya berbagai anak usaha dalam satu grup usaha yang tersebar di berbagai negara dengan fungsi dan perannya masing-masing sesuai dengan kepentingan perencanaan pajaknya.
Ketiga, adanya permasalahan interpretasi peraturan perpajakan yang belum selaras (update) dengan model bisnis baru dalam ekonomi digital yang sudah berada beberapa langkah di depan peraturan itu sendiri. Permasalahan tersebut pada gilirannya melahirkan jurang (gap) yang memunculkan ruang ketidakpastian hukum sekaligus sengketa perpajakan.
Pada isu penciptaan nilai (value creation) dalam mekanisme transfer harga (transfer pricing), misalnya. Apakah data yang diciptakan oleh pengguna (user) dengan menggunakan aplikasi gratis dengan sendirinya dapat menciptakan nilai untuk alokasi penghasilan antara negara domisili dan negara pasar?
Daftar pertanyaan yang membuka ruang sengketa ini juga masih bisa terus berlanjut. Pada isu penggunaan perangkat lunak (software) misalnya, apakah pembayaran untuk menggunakan perangkat lunak dapat dianggap sebagai royalti dalam konteks penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/ P3B (tax treaty)? (Lihat: Pajak Royalti atas Transaksi Software)
Lalu, apakah suatu Badan Usaha Tetap (BUT) dapat terbentuk apabila di negara pasar hanya terdapat fungsi dukungan pemasaran (marketing support) dan situs atau website-nya? Kalaupun jawabannya iya, apakah kemudian iklan gratis dalam situs tadi (classified ads) dapat dipersamakan dengan pemberian cuma-cuma untuk tujuan pemungutan PPN?
Beberapa action plan itu secara khusus ditujukan guna menangkal struktur pajak yang banyak dipakai perusahaan multinasional dalam ekonomi digital. Di antaranya transfer pricing, hybrid mismatch, penghindaran peraturan CFC (Controlled Foreign Company), penghindaran pembentukan BUT dan pemanfaatan preferential tax regime. (Lihat: Memahami Struktur Perencanaan Pajak Google).
Meski Proyek BEPS sudah merupakan langkah ke arah yang tepat, namun perlu diketahui bahwa implementasi rekomendasi tersebut diserahkan pada diskresi masing-masing negara. Dengan kata lain, OECD tidak dapat mengeluarkan peraturan yang mengikat ke semua negara, tetapi sebatas memberikan rekomendasi yang bersifat soft law.
Dengan demikian, walaupun rekomendasi Proyek BEPS diakui sangat relevan dalam mengatasi permasalahan perpajakan atas ekonomi digital, namun sebagaimana disebutkan oleh European Parliament’s Special Committee, beberapa rekomendasi Proyek BEPS praktis dianggap gagal dalam menangkal inti persoalannya (the core problem).
Sebab pada kenyataannya, beberapa negara justru mengeluarkan kebijakan perpajakan yang bertolak belakang dengan rekomendasi Proyek BEPS, yaitu dengan menciptakan jenis pajak baru yang secara khusus ditujukan untuk bisnis ekonomi digital tertentu. Sebagai contoh, diverted profits tax di Inggris dan Australia, yang sering dinobatkan media sebagai Google Tax dan Equalization Levy di India.
Di sisi lain, perkembangan di AS juga tidak boleh luput dari perhatian. Berbeda dengan rekomendasi Proyek BEPS, Pemerintah Barack Obama malah mengusulkan untuk menerapkan pajak minimal sebesar 19% dari penghasilan global perusahaan multinasional AS, terlepas dari apakah offshore profits tersebut sudah dilakukan repatriasi atau tidak.
Proposal Obama ini tidak lain ditujukan untuk membatasi praktik perencanaan pajak yang agresif (aggresive tax planning) yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional AS dengan menempatkan offshore profit di negara-negara surga pajak atau negara yang memiliki predikat stateless juridiction.
Namun, berbeda dengan Obama, Presiden AS terpilih Donald Trump justru berencana mencabut proposal minimum tax itu tadi, dan sebagai gantinya, malah mengusulkan untuk memberikan fasilitas kepada perusahaan multinasional dengan menurunkan tarif pajak untuk repatriasi laba usahanya di luar negeri. Lagi-lagi, langkah ini juga tidak sesuai dengan rekomendasi Proyek BEPS.
Ketidakpuasan atas proyek BEPS juga ditunjukkan oleh Komisi Uni Eropa dengan dikeluarkannya proposal Anti-Avoidance Directive (ATAD), yang memuat rekomendasi peraturan yang tidak dicakup dalam Proyek BEPS, yaitu rekomendasi diadakannya General Anti Avoidance Rule (GAAR), switch over clause dan exit taxation.
Di luar itu, Komisi Uni Eropa juga mengumumkan rencana membahas kembali proyek Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB). Proyek CCCTB ini tidak lain adalah bentuk pendekatan formulary apportionment yang bertolak belakang dengan konsensus internasional dalam penerapan arm’s length principle terkait dengan alokasi penghasilan antara wajib pajak dalam satu grup.
Semua perkembangan di atas menunjukkan kian besarnya relevansi ekonomi digital dalam perpajakan internasional. Tanpa adanya wadah yang dapat menampung isu-isu perpajakan ekonomi digital di bawah standar internasional yang sederhana, fleksibel dan efisien, risiko akan membesarnya isu pajak ekonomi digital ini jelas tak akan terhindarkan, termasuk ke negara berkembang. Ini yang perlu dicatat. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.