Ilustrasi. Gedung Kementerian Keuangan. (Foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Penyusunan rancangan peraturan menteri keuangan yang mengatur tata cara pengecualian dividen dari objek pajak penghasilan dan aturan baru mengenai penagihan pajak menjadi topik terpopuler sepanjang pekan ini.
Pemerintah akan menggunakan skema serupa dengan ketentuan dalam tax amnesty terkait dengan syarat investasi atas dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi agar dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh).
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak (DJP) Yunirwansyah mengatakan dividen dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi harus memenuhi syarat diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
“Dalam RPMK, kami memberikan fasilitas investasinya mirip dengan waktu tax amnesty. Waktu tax amnesty dulu, kami memberikan instrumen lebih kurang 8. Nah, dalam RPMK ini kami tambahkan menjadi lebih kurang 12,” ungkapnya.
Dalam Pasal 12 UU Pengampunan Pajak, investasi atas harta yang dialihkan ke dalam negeri dilakukan paling singkat 3 tahun dalam bentuk surat berharga negara, obligasi BUMN, obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki pemerintah, dan investasi keuangan pada bank persepsi.
Ada pula obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi Otoritas Jasa Keuangan, investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah, dan bentuk investasi lainnya yang sah.
Berita pajak terpopuler lainnya adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 189/2020 yang mengatur ketentuan objek sita saat pelaksaan penyitaan dalam penagihan pajak.
Dalam Pasal 21 PMK tersebut ditegaskan objek sita meliputi pertama, barang milik penanggung pajak. Kedua, barang milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan dari penanggung pajak, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta.
PMK juga mengatur tata cara penyitaan terhadap barang bergerak atau barang tidak bergerak. Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.
Urutan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh juru sita pajak. Dalam menentukan urutan tersebut, juru sita pajak memperhatikan jumlah utang pajak, biaya penagihan pajak, serta kemudahan penjualan atau pencairannya. Berikut berita pajak pilihan lainnya sepanjang pekan ini (14-18 Desember 2020).
Januari 2021, Aturan Turunan Klaster Perpajakan Ditargetkan Terbit
Ditjen Pajak (DJP) akan memerinci dan mempertegas perubahan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Hal ini akan dituangkan dalam aturan turunan.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar mengatakan secara garis besar, ada 6 perubahan kebijakan UU PPN yang masuk dalam UU Cipta Kerja. Pertama, konsinyasi bukan termasuk dalam penyerahan barang kena pajak (BKP).
Kedua, penyertaan modal dalam bentuk aset (imbreng) tidak terutang PPN. Ketiga, penyerahan batu bara termasuk penyerahan BKP. Keempat, relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP).
Kelima, pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pembeli yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam faktur pajak. Keenam, pengaturan faktur pajak untuk PKP pedagang eceran.
World Bank Kembali Sarankan 3 Kebijakan Perpajakan, Apa Saja?
World Bank kembali merekomendasikan perubahan kebijakan perpajakan untuk menyokong belanja penanganan krisis dan menjaga ruang fiskal dalam jangka menengah.
World Bank mengusulkan peningkatan tarif pajak penghasilan orang pribadi yang berpenghasilan tinggi, peningkatan tarif cukai dan penambahan barang kena cukai, serta penghapusan skema-skema perpajakan khusus seperti PPh final pada sektor properti.
Menurut laporan World Bank, kebijakan perpajakan yang responsif sangat diperlukan untuk mendanai program penanganan krisis dan pemulihan, menjaga posisi utang pemerintah, dan memperluas ruang fiskal.
Sofyan Djalil Wacanakan Kembali Pajak Tanah Progresif
Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil kembali membuka wacana pajak tanah progresif guna mengatasi masalah ketimpangan kepemilikan tanah.
Menurut menteri ATR, saat ini sudah terlalu banyak tanah di daerah yang dikuasai oleh orang-orang ibukota dan tidak dimanfaatkan secara produktif. Oleh karena itu, perlu ada ketentuan pajak progresif atas kepemilikan tanah.
Pemerintah sendiris saat ini masih mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan untuk dibahas bersama DPR. Sofyan berharap ketentuan pajak tanah progresif bisa diwujudkan demi mengerem masyarakat untuk berinvestasi tanah.
Lewat Telepon atau Langsung, Pengawasan Kepatuhan Pajak Dijalankan
Upaya pengawasan kepatuhan wajib pajak terus dijalankan menjelang akhir tahun. Pengawasan dilakukan baik secara langsung maupun melalui saluran daring.
Salah satu contoh pengawasan kepatuhan secara langsung dijalankan KPP Pratama Tabanan. Akhir November 2020, KPP tersebut melakukan penyisiran kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Sementara itu, KP2KP Malili menjalankan pengawasan kepatuhan melalui saluran elektronik. Kantor pajak ini memberikan imbauan penyampaian SPT Tahunan kepada wajib pajak badan di wilayah Kabupaten Luwu Timur melalui saluran telepon.
Pasalnya, sebagian besar wajib pajak yang berhasil dihubungi mengakui ketidakpatuhannya dalam melaporkan SPT Tahunan. Salah satu alasan ketidakpatuhan itu dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai kewajiban perpajakan.
Pajak Karyawan dan Korporasi 2021 Diestimasi Masih Tertekan
Penerimaan pajak penghasilan (PPh) karyawan dan badan pada tahun depan diestimasi masih mengalami tekanan.
Estimasi ini terlihat dari perincian target penerimaan pajak yang dimuat dalam Peraturan Presiden 113/2020. Target kontribusi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 pada 2021 mengalami penurunan dibandingkan dengan target pada tahun ini.
Dalam Lampiran I Perpres tersebut dijabarkan perincian penerimaan perpajakan. Target penerimaan PPh tahun depan dipatok Rp683,77 triliun. Dari nilai itu, penerimaan PPh nonmigas dipatok senilai Rp638 triliun atau berkontribusi 93,31% dari total penerimaan PPh.
Kontribusi PPh nonmigas itu mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan patokan tahun ini yang tertuang dalam Perpres 72/2020. Tahun ini, dengan target Rp638,52 triliun, kontribusinya mencapai 95,25% dari total target penerimaan PPh senilai Rp670,38 triliun. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.