Kilas Balik Februari 2024.
JAKARTA, DDTCNews – Berlakunya tarif efektif rata-rata (TER) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 memancing reaksi wajib pajak. Imbas dari kebijakan ini mulai dirasakan wajib pajak. Salah satunya, pemotongan PPh Pasal 21 masa Januari 2024 yang dirasakan lebih besar dari biasanya. Topik tersebut cukup menjadi sorotan pada Februari 2024.
Merespons pembicaraan tersebut, DJP mengatakan tidak ada tambahan beban pajak baru dengan adanya implementasi TER PPh Pasal 21. Menurut DJP, penerapan TER memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi wajib pajak untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 pada setiap masa pajak.
"Jika #KawanPajak mendapati PPh Pasal 21 mulai bulan ini [Januari] hingga November lebih besar daripada biasanya, bisa jadi nanti di bulan Desember malah PPh Pasal 21 lebih kecil," tulis DJP.
DJP mengatakan pada akhir tahun, PPh Pasal 21 terutang tetap sama besarnya antara sebelum TER berlaku dan saat TER berlaku. Dengan demikian, sambung DJP, tidak ada tambahan pajak baru yang dikenakan.
Menurut DJP, terdapat kondisi PPh Pasal 21 terutang pada Desember lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang bulanan sebelum berlakunya TER. Namun, bisa juga terjadi sebaliknya, yakni PPh Pasal 21 terutang Desember lebih kecil daripada PPh Pasal 21 terutang bulanan sebelum berlakunya TER. Simak PPh Pasal 21 Bulan Ini Lebih Besar dari Biasanya? Ini Kata DJP.
DJP juga memperbarui sejumlah aplikasi untuk mengakomodasi penerapan TER PPh Pasal 21. Aplikasi yang diperbarui itu di antaranya e-bupot 21/26.
Selain itu, ada sejumlah topik pajak lainnya yang ramai diperbincangkan sepanjang Februari 2024. Topik tersebut di antaranya perihal pemberian pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) yang berlanjut, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan, ketentuan angsuran PPh Pasal 25 bagi UMKM, serta peraturan baru mengenai tata cara permohonan izin kuasa hukum pada pengadilan pajak.
Berikut beberapa isu penting yang terjadi selama Februari 2024.
Pemerintah kembali memberikan insentif PPN DTP atas penyerahan rumah. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 7/2024.
Seperti ketentuan sebelumnya, persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh insentif PPN DTP antara lain: (i) harga jual rumah paling banyak Rp5 miliar; dan (ii) rumah harus keadaan baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni.
Adapun PPN DTP diberikan sebesar 100% atas PPN terutang dari bagian dasar pengenaan pajak (DPP) hingga Rp2 miliar. Hal ini berlaku untuk penyerahan rumah yang dilakukan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2024,.
Sementara itu, untuk penyerahan mulai 1 Juli 2024 hingga 31 Desember 2024 diberikan PPN DTP sebesar 50% atas PPN terutang dari DPP hingga Rp2 miliar.
MK menolak permohonan pengujian materiil atas Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara sebagai dasar pemisahan Ditjen Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan penempatan DJP di bawah Kementerian Keuangan merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
"Hal dimaksud sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan Putusan MK Nomor 155/PUU-XXI/2023.
PMK 164/2023 turut memuat ketentuan angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi wajib pajak dengan omzet hingga Rp4,8 miliar alias pelaku UMKM.
Secara lebih terperinci, sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) PMK 164/2023, ketentuan itu berlaku bagi wajib pajak UMKM yang memilih dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum atau wajib pajak UMUM yang telah melewati jangka waktu tertentu pengenaan PPh final.
“ …. wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 mulai tahun pajak pertama wajib pajak dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum pajak penghasilan,” bunyi penggalan Pasal 16 ayat (1) PMK 164/2023.
Pengadilan pajak menerbitkan ketentuan baru soal tata cara permohonan izin kuasa hukum pada pengadilan pajak. Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pengadilan Pajak No. PER-1/PP/2024.
Merujuk PER-1/PP/2024, izin kuasa hukum yang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan sebelumnya, yakni PER-01/PP/2018, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izin kuasa hukum tersebut berakhir.
Namun, izin kuasa hukum yang diterbitkan berdasarkan PER-01/PP/2018 tidak dapat diperpanjang. Dengan demikian, kuasa hukum di pengadilan pajak harus mengajukan permohonan baru sesuai dengan Pasal 3 PER-1/PP/2024.
Selain itu, PER-1/PP/2024 menegaskan setiap orang yang hendak beracara di Pengadilan Pajak perlu memiliki izin kuasa hukum. Adapun permohonan izin diajukan kepada ketua Pengadilan Pajak secara elektronik melalui laman resmi Pengadilan Pajak, yaitu IKH Online.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023, MK menyatakan frasa 'pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan' dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak terdapat tindakan upaya paksa'.
"Sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU 7/2021 tentang HPP menjadi 'Dirjen pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa'," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan. (sap)