BERLAKUNYA Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada gilirannya turut mengubah berbagai ketentuan dalam UU Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Adapun salah satu ketentuan yang berubah terkait dengan perlakuan PPN atas jasa pendidikan.
Sebelum terbit dan berlakunya UU HPP, jasa pendidikan masuk kelompok jenis jasa yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A ayat (3) huruf g UU PPN). Artinya, dalam ketentuan dahulu, jasa pendidikan bukanlah jasa kena pajak (JKP) atau dikecualikan dari pengenaan PPN.
Setelah UU HPP berlaku, jasa pendidikan dihapus dari Pasal 4A ayat (3) huruf g UU PPN dan dipindahkan ke Pasal 16B ayat (1a) huruf J UU PPN. Dengan demikian, sekarang, barang kebutuhan pokok menjadi JKP tapi dapat diberikan fasilitas tidak dipungut sebagian/seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.
Berdasarkan pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, jasa pendidikan dibebaskan dari pengenaan PPN. Adapun jasa pendidikan yang dimaksud, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) PP 49/2022, adalah jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah (jalur formal) dan pendidikan luar sekolah (jalur nonformal).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (4) PP 49/2022, jasa penyelenggaraan pendidikan jalur formal meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini; pendidikan dasar; pendidikan menengah; dan pendidikan tinggi. Penyelenggaran dilakukan satuan pendidikan yang memiliki izin pendidikan formal dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Jalur nonformal meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup; pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; dan pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Penyelenggaran dilakukan satuan pendidikan berizin pendidikan nonformal dari pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Adapun sesuai dengan Pasal 16 ayat (6) PP 49/2022, jasa pendidikan yang dibebaskan dari pengenaan PPN tidak termasuk jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya.
Mengutip Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2023, PPN tidak dikenakan/dibebaskan atas jasa pendidikan merupakan merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.
Dalam kelompok PPN dan PPnBM, potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) karena fasilitas PPN dibebaskan atas jasa pendidikan menempati posisi keempat terbesar. Posisi pertama terbesar berasal dari batasan pengusaha kecil tidak kena pajak atau threshold pengusaha kena pajak (PKP). Simak pula ‘Batasan Pengusaha Pungut PPN (PKP) Indonesia Tertinggi ke-2 di Asean’.
Adapun nilai potensi penerimaan pajak yang sengaja tidak dipungut oleh negara karena fasilitas PPN dibebaskan atas jasa pendidikan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2025, nilainya diproyeksi mencapai Rp26,0 triliun atau 9,8% dari total belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp265,6 triliun. Berikut perinciannya.
Berdasarkan pada data yang diolah DDTC dari berbagai sumber, termasuk Country Tax Guide IBFD, pembebasan PPN atas jasa pendidikan ternyata juga diterapkan di berbagai negara kawasan Asia Tenggara (Asean) yang mempunyai rezim PPN (value-added tax/VAT) ataupun goods and services tax (GST). Namun, ada juga negara yang tidak menerapkan pembebasan PPN terhadap jasa pendidikan.
Misal, di Thailand, jasa pendidikan dianggap sebagai jasa dasar yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Di Filipina, pembebasan PPN diberikan atas jasa pendidikan oleh lembaga pendidikan swasta yang diakreditasi serta oleh lembaga pendidikan pemerintah. Di Laos, ada pembebasan pajak untuk penyerahan fasilitas untuk jasa pendidikan dan olahraga. Berikut perinciannya.
Namun demikian, tidak diketahui secara jelas nilai potensi penerimaan pajak yang hilang dari pembebasan PPN atas jasa pendidikan tersebut di tiap negara. Terlebih, jika melihat data pada Global Tax Expenditures Database (GTED), profil negara yang tersedia hanya Indonesia dan Filipina. Simak ‘Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?’.
Terlepas dari hal tersebut, kembali lagi, Darussalam (2024) menyatakan untuk melihat kebijakan PPN, setidaknya ada 3 variabel yang perlu diperhatikan. Ketiganya adalah tarif PPN, threshold PKP, dan fasilitas (pembebasan PPN). Ketiganya menjadi aspek yang penting juga untuk membandingkan rezim PPN satu negara dengan negara lainnya.
Misal, meskipun memiliki tarif PPN yang sama, bisa jadi beban yang harus ditanggung oleh konsumen akhirnya berbeda. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dari aspek batasan pengusaha yang mulai memungut PPN (threshold PKP) dan nilai fasilitas (pembebasan PPN).
Kondisi yang serupa juga berlaku ketika ada perbedaan tarif. Bisa jadi negara dengan tarif PPN lebih tinggi, beban ke konsumen akhirnya juga lebih besar. Begitu pula sebaliknya, untuk negara dengan tarif PPN lebih rendah, belum tentu beban ke konsumen akhirnya lebih sedikit.
Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 32 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)