HADIRNYA Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) turut mengubah berbagai ketentuan dalam UU Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Adapun salah satu perubahannya terkait dengan perlakuan PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis.
Sebelum UU HPP berlaku, jasa pelayanan kesehatan medis masuk dalam jenis jasa tertentu yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A ayat (3) huruf a UU PPN). Artinya, dalam ketentuan dahulu, jasa pelayanan kesehatan medis bukanlah jasa kena pajak (non-JKP) atau dikecualikan dari pengenaan PPN.
Sekarang, setelah UU HPP berlaku, jasa pelayanan kesehatan medis dihapus dari Pasal 4A ayat (3) huruf a UU PPN dan dipindahkan ke Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN. Jasa pelayanan kesehatan medis menjadi JKP tapi dapat diberikan fasilitas tidak dipungut sebagian/seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.
Berdasarkan pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, jasa pelayanan kesehatan medis dibebaskan dari pengenaan PPN. Adapun jasa pelayanan kesehatan medis yang dimaksud, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP 49/2022, meliputi jasa pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat serta jasa pelayanan kesehatan hewan/veteriner.
Adapun jasa pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat meliputi:
Kemudian, jasa pelayanan kesehatan hewan/veteriner berupa jasa dokter hewan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang veteriner.
Mengutip Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2023, PPN tidak dikenakan/dibebaskan atas jasa pelayanan kesehatan medis merupakan merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.
Dalam kelompok PPN dan PPnBM, potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) karena fasilitas PPN dibebaskan atas atas jasa pelayanan kesehatan medis diproyeksi mengambil porsi sekitar 1,6%. Nilainya pada 2025 diproyeksi mencapai Rp4,3 triliun dari total belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp265,6 triliun. Berikut perinciannya.
Berdasarkan pada data yang diolah DDTC dari berbagai sumber, termasuk Country Tax Guide IBFD, pembebasan PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis juga diterapkan di berbagai negara kawasan Asia Tenggara (Asean) yang mempunyai rezim PPN (value-added tax/VAT) ataupun goods and services tax (GST). Namun, ada juga negara yang tidak menerapkan pembebasan PPN tersebut.
Misal, di Thailand, jasa kesehatan dianggap sebagai jasa dasar yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Di Filipina, pembebasan PPN diberikan jasa medis, gigi, rumah sakit, dan kedokteran hewan, kecuali yang diberikan oleh tenaga ahli. Di Vietnam, pembebasan PPN diberikan terhadap jasa kesehatan dan perawatan untuk lansia dan penyandang disabilitas. Berikut perinciannya.
Namun demikian, tidak diketahui secara jelas nilai potensi penerimaan pajak yang hilang dari pembebasan PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis di tiap negara. Terlebih, jika melihat data pada Global Tax Expenditures Database (GTED), profil negara yang tersedia hanya Indonesia dan Filipina. Simak pula ‘Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?’.
Terlepas dari hal tersebut, kembali lagi, Darussalam (2024) menyatakan untuk melihat kebijakan PPN, setidaknya ada 3 variabel yang perlu diperhatikan. Ketiganya adalah tarif PPN, threshold PKP, dan fasilitas (pembebasan PPN). Ketiganya menjadi aspek yang penting juga untuk membandingkan rezim PPN satu negara dengan negara lainnya.
Misal, meskipun memiliki tarif PPN yang sama, bisa jadi beban yang harus ditanggung oleh konsumen akhirnya berbeda. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dari aspek batasan pengusaha yang mulai memungut PPN (threshold PKP) dan nilai fasilitas (pembebasan PPN).
Kondisi yang serupa juga berlaku ketika ada perbedaan tarif. Bisa jadi negara dengan tarif PPN lebih tinggi, beban ke konsumen akhirnya juga lebih besar. Begitu pula sebaliknya, untuk negara dengan tarif PPN lebih rendah, belum tentu beban ke konsumen akhirnya lebih sedikit.
Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 33 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)