PESATNYA perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi membuat sistem bisnis serta industri makin terotomatisasi dan terdigitalisasi. Peningkatan tren digitalisasi ini mendorong Ditjen Pajak (DJP) turut serta mendigitalisasi sistem perpajakan.
Digitalisasi tersebut salah satunya tercermin dalam proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax system. Proyek yang ditargetkan rampung pada 2024 ini akan mengotomatisasi berbagai proses bisnis di DJP mulai dari pendaftaran wajib pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi taxpayer accounting.
Digitalisasi sistem pajak nyatanya tidak hanya ditempuh DJP tetapi juga otoritas pajak negara lain. Upaya digitalisasi ini makin menguat akibat pandemi Covid-19. Pembatasan interaksi mengakibatkan adanya perubahan pola interaksi, termasuk memicu tren transformasi pemeriksaan pajak dari konvensional ke digital.
Uniknya, sebelum Covid-19 menjadi pandemi, otoritas pajak India (Indian Revenue Authority/IRA) telah mengenalkan skema asesmen tanpa tatap muka (faceless assessment scheme/FAS). FAS mengeliminasi sepenuhnya interaksi tatap muka antara wajib pajak dan fiskus melalui komunikasi digital.
FAS merombak total cara pemeriksaan pajak di India. Sistem ini bahkan membuat wajib pajak tidak mengetahui nama petugas IRA yang melakukan pemeriksaan pajak. Pendekatan semacam itu nyaris belum pernah terdengar sebelumnya, terutama di India.
Gambaran tentang bagaimana FAS beroperasi di India, diuraikan Sean Foley et al dalam artikelnya bertajuk India Takes a Giant Leap With Faceless Audits. Artikel yang dimuat oleh Tax Note International ini membahas potensi keuntungan dan kerugian yang timbul akibat penerapan FAS.
FAS sebenarnya bukanlah program baru. IRA telah menerapkan pilot project FAS sejak 2015. Selang 5 tahun, keberhasilan pilot project FAS dan tantangan Covid-19 membuat IRA menerapkan FAS secara penuh dan mengalokasikan 68% tenaga kerjanya untuk program tersebut.
Lebih tepatnya, Pemerintah India memperkenalkan panduan detail tentang FAS pada 13 Agustus 2020. Panduan tersebut dirilis bersamaan dengan peluncuran platform Transparent Taxation yang juga mengakomodasi skema FAS dan pengajuan banding tanpa tatap muka.
Foley et al menjelaskan FAS mencakup semua wajib pajak dalam negeri dan segala jenis sengketa pajak, kecuali yang terkait dengan kasus penggeledahan dan penyidikan. Namun, pedoman FAS yang ada saat ini belum mencakup pemeriksaan yang berkaitan dengan transfer pricing.
Guna mengakomodasi pelaksanaan FAS, IRA mendirikan National e-Assessment Center (NeAC) yang berfungsi sebagai gerbang komunikasi pusat antara wajib pajak dan IRA. Selain itu, IRA membentuk 20 unit Regional e-Assessment Centers (ReAC) yang masing-masing berisi berbagai unit khusus, mulai dari assessment unit (AU), verification unit (VU), technical unit (TU), dan review unit (RU).
Secara ringkas, alur dalam skema FAS diawali dengan identifikasi SPT wajib pajak menggunakan artificial intelligence dan machine learning. Apabila terdapat penghasilan wajib pajak yang perlu dikoreksi maka NeAC akan mengalokasikan kasus tersebut pada ReAC secara otomatis.
ReAC selanjutnya mengalokasikan kasus tersebut ke AU. Apabila AU menilai dibutuhkan verifikasi atau pengujian lebih lanjut atas pembukuan, pencatatan, atau perlu dukungan teknis lainnya maka kasus akan diteruskan ke VU atau TU. AU selanjutnya mengumpulkan masukan dari berbagai unit dan menyiapkan draft assessment order.
NeAC lantas memeriksa draft order tersebut. Apabila tidak ada koreksi yang diusulkan maka NeAC akan menyelesaikan draft order dan memberikan salinannya pada wajib pajak. Namun, apabila ada koreksi yang diusulkan maka NeAC akan memberitahukannya pada wajib pajak.
Apabila NeAC menentukan kasus tersebut perlu pemeriksaan tambahan maka kasus akan dikirimkan pada RU. NeAC akan menyelesaikan asesmen pajak setelah mempertimbangkan komentar dari RU dan AU serta tanggapan wajib pajak. Seluruh komunikasi antara wajib pajak dan ReAC, serta unit khusus di bawahnya hanya dilakukan melalui NeAC.
Fole et al menguraikan FAS memiliki banyak manfaat di antaranya mampu melacak perkembangan proses pemeriksaan daring dan menciptakan siklus pemeriksaan yang lebih pendek. Dengan demikian, FAS memangkas waktu dan biaya yang harus ditanggung wajib pajak.
Selain itu, sistem FAS mengeleminasi bias pribadi karena alokasi kasus memanfaatkan sistem otomatis dan tidak ada interaksi langsung antara wajib pajak dengan fiskus. Sistem ini juga dapat meningkatkan konsistensi hasil pemeriksaan untuk kasus serupa.
Tidak hanya itu, adanya kolaborasi antara AU dengan unit khusus lain seperti VU dan TU dapat meningkatkan kualitas audit sehingga memudahkan proses litigasi dan memungkinkan pemerintah mengatasi celah dalam undang-undang serta meningkatkan penerimaan pajak.
Kendati visioner, FAS bukan tanpa celah. Sistem FAS yang memungkinkan adanya pergantian petugas selama pemeriksaan, berpotensi menyebabkan proses yang berlarut-larut.
Petugas yang baru juga belum tentu memahami historis masalah wajib pajak sehingga bisa menimbulkan permintaan informasi yang sebelumnya telah disediakan atau tidak relevan. Kondisi ini tentu dapat meningkatkan sengketa pajak.
Selain itu, wajib pajak harus siap dengan beban tambahan karena waktu pemeriksaan yang lebih cepat. Wajib pajak kini sebaiknya memberikan data lengkap disertai dengan penjelasan detail yang mudah dipahami karena tidak lagi dapat berbicara dengan pemeriksa.
Pada kesimpulannya, tim penulis menyatakan FAS merupakan transformasi besar dari rezim perpajakan India. Sistem ini akan membawa perubahan besar dalam cara dunia pajak memandang India. Namun, sistemnya yang unik mengharuskan wajib pajak di India memastikan kesiapannya menghadapi audit di bawah FAS.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.