RESENSI BUKU

Merunut Sejarah Perpajakan Tanah Air Sejak Orde Baru hingga Reformasi

Sapto Andika Candra
Kamis, 14 Maret 2024 | 08.45 WIB
Merunut Sejarah Perpajakan Tanah Air Sejak Orde Baru hingga Reformasi

Buku Jejak Pajak 2.

SETIAP tahun masyarakat disuguhkan pemberitaan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada kantor pajak. 

Yang cukup terkenang, barangkali, adalah ketika Jokowi menyampaikan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2021, di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda. Saat itu, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri yang sowan ke istana untuk mendampingi presiden mengisi SPT Tahunan secara daring melalui aplikasi e-filing

Setiap tahun pesannya selalu sama. Presiden Jokowi meminta masyarakat agar patuh pajak dengan melaporkan pajak penghasilannya melalui SPT Tahunan karena hal itu menjadi paramater kepatuhan formal masyarakat Indonesia dalam membayar pajak. 

Namun, Jokowi bukanlah presiden pertama yang selalu mengampanyekan pelaporan SPT Tahunan. 

Jika ditarik mundur, tepat 47 tahun lalu, Soeharto menjadi presiden pertama RI yang membudayakan pelaporan SPT Tahunan. Mulai 1977, Soeharto mewajibkan seluruh pejabat, baik sipil atau militer, eselon tiga ke atas, untuk menyampaikan SPT Tahunan dan laporan pajak kekayaan. 

Formulir surat pemberitahuan pendapatan pajak itu harus diserahkan oleh masing-masing pejabat kepada kepala inspektorat pajak di wilayah masing-masing. 

Sejak itu, setiap tahunnya, stasiun televisi TVRI tidak pernah absen merekam kegiatan Presiden Soeharto ketika melaporkan surat pemberitahuan pajak pendapatan ke Kantor Inspeksi Pajak (KIP) Menteng, Jakarta Pusat. 

Pesannya, menyuguhkan bukti kepada masyarakat bahwa presiden dan pejabat-pejabatnya memenuhi kewajiban sebagai warga negara dalam membayar pajak. 

Cukilan kisah Presiden Soeharto yang melaporkan SPT Tahunan tersebut digambarkan secara terperinci dalam buku Jejak Pajak Indonesia 2. Buku yang disusun dan diterbitkan oleh Ditjen Pajak (DJP) itu merupakan sambungan dari buku Jejak Pajak Indonesia 1 (Jejak Pajak Indonesia Abad ke-7 sampai 1966) yang lebih dulu terbit pada 2017 lalu. 

Kedua buku yang ditulis oleh Hurri Junisar tersebut kini menjadi segelintir dari rujukan resmi yang diolah pemerintah mengenai sejarah perpajakan Tanah Air. 

Jika buku jilid I mengulas tentang sejarah perpajakan pada rentang kerajaan Nusantara hingga masa berdirinya Republik Indonesia, buku jilid II yang baru saja diluncurkan ini mengulik dan menjabarkan fakta sejarah perpajakan Tanah Air sejak periode orde baru hingga reformasi. 

Sama dengan Jejak Pajak Jilid I, Jejak Pajak Jilid II juga disajikan dalam bentuk penjabaran beralur waktu maju, yakni dimulai dari periode peralihan pemerintahan dari Presiden Pertama RI Soekarno kepada Soeharto. 

Dengan narasi yang mudah dimengerti, penulis membagi isi buku ke dalam 9 bab. Masing-masing dibagi sesuai dengan periodesasi kebijakan perpajakan yang dijalankan oleh pemerintah. 

Bab 1 menjadi pembuka buku dengan mengulas mengenai penataan organisasi dan sumber daya manusia (SDM) di bidang pajak pada awal orde baru. 

Hurri berhasil menyodorkan fakta-fakta yang menarik mengenai kebijakan ekonomi di bawah kendali Soeharto, termasuk bagaimana pemerintah saat itu fokus memperbaiki kualitas organisasi kantor pajak. Bertambahnya volume pekerjaan pegawai pajak membuat pemerintah mulai merancang penambahan kantor-kantor pajak di daerah. 

Dirjen pajak saat itu, Soeyoedno Brotodiharjo, mendesak Presiden Soeharto untuk memprioritaskan belanja anggaran untuk menguatkan SDM pemerintah di bidang pajak. Berdasarkan Musyawarah Kerja VIII antara pemerintah dan DPR pada 1967, pemerintah memberikan pendidikan khusus, baik teknis dan administratif kepada pegawai pajak. Hingga 1970-an, fokus kebijakan pemerintah di bidang pajak masih tertuju pada perbaikan SDM agar usaha-usaha pemungutan pajak bisa lebih optimal.

Kemudian, bab 2 buku ini secara terperinci mengulas upaya-upaya pemerintah untuk menstabilkan perekonomian RI. Seperti diketahui, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi, yakni tembus 500%, pada rentang 1962 hingga 1966. 

Bagian ini juga menyajikan fakta-fakta menarik mengenai legalisasi judi dan pemungutan pajak atas judi di DKI Jakarta. Pada periode yang sama, Indonesia juga mulai merapikan tax treaty dengan negara lain. 

Dalam bab 3 penulis menghadirkan pokok-pokok perubahan dan penyempurnaan UU Pajak pada 1970. Pada periode ini, Indonesia mulai memasuki akhir implementasi official assessment, yakni proses pemungutan pajak yang diperankan secara penuh oleh fiskus.

Seiring dengan bertambahnya jumlah wajib pajak dan beban kerja fiskus, pada era 1970-an mulai bermunculan profesi konsultan pajak. Fenomena ini juga dijabarkan dalam bab 3 buku Jejak Pajak 2. Konsultan pajak berjalan beriringan dengan pegawai pajak untuk memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat.

Pada 1975, lahirlah Ikatan Konsulen Pajak Indonesia (IKPI) yang menjadi cikal bakal munculnya beberapa organisasi serupa di keprofesian konsultan pajak saat ini. 

Selanjutnya, bab 4 membahas secara mendalam tentang restrukturisasi iuran pembangunan daerah (Ipeda). 

Bab 5 menjadi bagian paling menarik sekaligus paling panjang dalam buku ini karena mengulas mengenai program pembaruan sistem perpajakan nasional. Pada bab ini, ulasan mengenai reformasi pajak ditulis secara apik, menarik, dan runut. 

Pembaca bisa mengetahui alasan di balik perubahan sistem pemungutan pajak Indonesia, dari official assessment menjadi self assessment pada 1980-an. Perubahan fundamental dalam sistem pemungutan pajak Indonesia ini juga berbuntut pada diterbitkannya 5 undang-undang (UU) perpajakan. 

Bab 6 hingga 8 secara umum mengulas tentang dinamika kebijakan pajak sejak terbitnya UU Perpajakan (1994 dan 1997), lahirnya lembaga pengadilan sengketa pajak, dan perubahan sistem pajak daerah di Indonesia. 

Bab 9 sebagai bagian penutup buku ini menjabarkan secara detail mengenai peran pajak dalam meredam dampak krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada 1998 dan reformasi. Pembaca juga disajikan fakta mengenai resiliensi Indonesia dalam menjaga penerimaan pajak di era reformasi. 

Melalui buku ini, pembaca diingatkan kembali bahwa reformasi pajak merupakan jalan yang panjang. Bahkan, prosesnya masih berjalan hingga kini. 

Reformasi pajak memiliki tantangannya sendiri-sendiri di setiap zaman. Pada era reformasi 1998 misalnya, reformasi pajak terganjal masih rendahnya kesadaran soal pajak. 

Saking rendahnya kesadaran dan kepatuhan pajak, saat itu pemerintah mencatat ada 900 pejabat tinggi negara yang belum punya NPWP. Tak cuma itu, ada 200-an anggota DPR dan MPR yang belum tercatat sebagai wajib pajak. 

Bagi Anda yang tertarik membaca buku Jejak Pajak 2, DJP menyajikan versi digitalnya pada laman pajak.go.id. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.