LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Menyoal Janji Kenaikan PTKP Prabowo-Sandi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 11 Januari 2019 | 15.08 WIB
ddtc-loaderMenyoal Janji Kenaikan PTKP Prabowo-Sandi
David Ahmad,
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang

JANJI kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) yang digaungkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam visi misi kampanyenya menuju kursi istana menjadi sorotan banyak pihak.

Berita ini dianggap angin segar oleh beberapa pihak yang merasa diuntungkan. Janji ini perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan lebih masak, terkait potensi dan ancaman yang terjadi, baik pada keberlanjutan penerimaan negara, respons masyarakat, maupun keputusan belanja kelak.

Latar belakang kebijakan ini yang perlu dianalisis lebih dalam adalah pertama,informasi APBN 2 tahun terakhir yang disusun Direktorat Jenderal Anggaran (2018:9) menunjukkan PPh sebagai penyumbang terbesar penerimaan pajak, yaitu lebih dari 52,6% dengan didominasi PPh nonmigas orang pribadi.

Artinya, apabila diadakan peningkatan terhadap besaran PTKP dan penurunan tarif pada PPh, maka dapat dipastikan akan berdampak langsung terhadap besaran penerimaan APBN pada tahun yang akan datang.

Kedua, tax ratio yang merupakan ukuran kinerja penerimaan pajak di Indonesia akan kian tertinggal akibat penerimaan pajak yang tergerus. Menurut Ditjen Pajak, salah satu penyebabnya adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Regional (UMR) yang berada jauh di bawah batas PTKP.

Alasan inilah yang menyebabkan PTKP tidak mampu memberikan dampak signifikan pada penerimaan pajak dan membuat tax ratio tertinggal dengan negara lain. Maknanya jika terjadi kenaikan PTKP tanpa didukung kenaikan UMP dan UMR , akan menurunkan tax ratio dan pendapatan pajak.

Ketiga, pemerintah akan kehilangan momentum penerimaan PPh ke depan dengan bonus demografi. Tren penerimaan PPh kian meningkat bagi negara yang didominasi populasi usia produktif, tapi tidak dimanfaatkan sebagai solusi meningkatkan pendapatannya. (Darussalam, Danny, dan Khisi, 2018:6)

Di sisi lain peningkatan batas PTKP bagi pelaku usaha dapat mempermudah pemungutan dan penyetoran PPh, karena ada kemungkinan terdapat perubahan jumlah wajib pajak yang berada di bawah tanggung jawab entitas pelaku usaha untuk dipotong dan disetorkan pajaknya.

Selain itu, bagi masyarakat menengah ke bawah kebijakan ini bisa mendorong peningkatan konsumsi atau investasi, yang berdampak pada terciptanya efek berganda dengan harapan akan meningkatnya penerimaan pajak di masa datang, dengan catatan ada stabilitas laju inflasi dan ekonomi.

Hal ini diperlukan karena apabila laju inflasi tidak dijaga dan situasi ekonomi tidak terkendali, maka kenaikan batas PTKP tidak akan berpengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat dan atau investasi.

Kebijakan peningkatan batas PTKP dalam politik pajak sejatinya adalah kebijakan yang realistis dan bukan sesuatu yang baru dengan berbagai macam pro dan kontranya, mengingat substansi yang terukur dan arah tujuan yang jelas.

Namun, eksekusi kebijakan ini memerlukan timing yang tepat agar tidak kontraproduktif dan hanya menghasilkan perubahan sesaat. Jika hal persoalan utamanya adalah untuk menstimulus ekonomi dan menyelesaian permasalahan dasar masyarakat, kebijakan ini kurang merangkum keduanya.

Karena memang secara substansi yang sempit kebijakan ini dirancang untuk memberikan stimulus ekonomi dasn mendorong peningkatan konsumsi dan atau investasi masyarakat. Lantas, terobosan kebijakan seperti apa yang relevan untuk bisa menstimulasi penyelesaian masalah dasar masyarakat?

Penulis menyarankan untuk ditambahkan pemotongan biaya khusus (special expense deductions) yang dapat dikurangkan dalam unsur perhitungan penghasilan kena pajak orang pribadi. Pemotongan biaya khusus ini memiliki beberapa kelebihan.

Kelebihan tersebut antara lain hanya wajib pajak yang memenuhi kategori khusus yang dapat menerima stimulus fiskal. Kemudian lebih mewujudkan keadilan sosial karena berkaitan langsung dengan beban yang ditanggung wajib pajak.

Selanjutnya, dapat meminimalisasi penurunan pendapatan negara, karena jika dilihat dari sifatnya yang tidak dapat dimanfaatkan seluruh wajib pajak. Terakhir, kontribusi pemotongan biaya khusus akan secara langsung mengikat pada subjek yang terkena permasalahan.

Tambahan pemotongan biaya khusus yang dimaksud meliputi pertama, pendidikan berkelanjutan, Hal ini sangat diperlukan baik oleh anggota tertanggung wajib pajak dan negara. Indonesia akan sulit naik kelas jika pengenyam pendidikan strata 1 dan kualitas sumber daya manusianya masih rendah.

Kedua, pengobatan penyakit kronis. Pemotongan ini diperlukan mengingat tidak semua anggota keluarga tertanggung wajib pajak ditanggung asuransi kesehatan, sedangkan biaya pengobatan penyakit kronis relatif mahal dan dalam intensitas yang lama. Stimulus fiskal perlu diberikan di sini.

Ketiga, bunga pinjaman modal Usaha Mikro Kecil dan Menengah, yang bertujuan untuk merangsang minat wirausaha masyarakat untuk turut berkontribusi mengurangi jumlah pengangguran, dan menyumbang pendapatan negara melalui sektor informal.

Keempat, cicilan kepemilikan hunian sederhana atau sangat sederhana perdana dan utama. Potongan biaya khusus dalam item ini dirasa cukup diperlukan mengingat kebutuhan kepemilikan hunian adalah kebutuhan primer yang sangat mendasar dibutuhkan oleh masyarakat.

Saran ini didasarkan pada pandangan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dalam penghasilan yang diatur lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 kurang bisa menyelesaikan permasalahan dasar masyarakat.

Kebetulan, hal ini selaras dengan salah satu konsen kubu penantang dalam membangun situasi ekonomi yang lebih baik, dan menyelesaikan permasalahan dasar masyarakat yang sebesar-besarnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.