Presiden Soeharto (kiri) memimpin sidang kabinet yang dihadiri Radius Prawiro (ketiga kiri). (Foto: Kompas/ JB Suratno)
SEJARAH pemeriksaan sekaligus pemberantasan korupsi pajak di era modern Indonesa mungkin berawal dari perintah Presiden Soeharto. Kisahnya bermula pada 1986, ketika satu importir di Surabaya, setelah diperiksa aparat pajak, menerima pencairan restitusi sekitar Rp300 juta.
Namun, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan dokumen bukti yang membalikkan semuanya. Berdasarkan dokumen tersebut, importir itu seharusnya tidak berhak menerima restitusi.
Sebaliknya, seperti diceritakan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Amien Sunaryadi beberapa tahun silam, importir tersebut seharusnya malah membayar utang pajak sekitar Rp2 miliar.
Dokumen bukti yang menunjukkan terjadinya penyimpangan tersebut kemudian dibahas bersama Kepala BPKP waktu itu, Gandhi, dan Menteri Keuangan Radius Prawiro. Keduanya lalu sepakat untuk melaporkan dokumen tersebut langsung kepada Presiden Soeharto.
Di sidang kabinet, setelah Menkeu menyerahkan dokumen itu kepada Presiden, pembahasan tindak lanjut temuan tersebut dimulai. Muncul perdebatan dalam sidang kabinet bagaimana memeriksa aparat pajak yang juga punya kewajiban menjaga kerahasiaan wajib pajak.
Radius saat itu mengutip Pasal 34 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan lengkap dengan penjelasannya. Ini adalah pasal yang mewajibkan pejabat DJP untuk melindungi kerahasiaan data wajib pajak. Pasal rahasia jabatan.
Mendengar penjelasan tersebut, Presiden Soeharto lalu berkomentar singkat, “Jika menteri keuangan tidak bisa membuat surat izin kepada BPKP untuk mengaudit pajak, maka saya sendiri yang akan menandatangani surat itu.”
Akhirnya, tidak sampai 24 jam kemudian, sepucuk surat Menkeu sudah ada di meja kerja Menko Ekuin dan Wasbang Ali Wardhana. Surat S-1234/MK.04/1987 per 3 November 1987 tentang Realisasi Pemberian Restitusi Pajak itu juga ditembuskan pada Kepala BPKP dan Dirjen Pajak.
Isi surat Menkeu kepada Menko Ekuin dan Wasbang tersebut intinya meminta agar BPKP melakukan pemeriksaan ulang atas restitusi pajak yang telah dibayarkan sejak 1984, atau ditarik mundur hingga 3 tahun ke belakang.
Surat itu lalu ditindaklanjuti BPKP dengan sebuah operasi bernama Pemeriksaan Khusus Restitusi Pajak yang dimulai pada 1988. Awalnya, BPKP menurunkan 250 auditor, lalu naik jadi 1.500 auditor—hingga menjadi pemeriksaan kolosal yang pertama kali digelar di Indonesia.
Lebih dari itu, surat tersebut juga menjadi awal kerja sama DJP dan BPKP yang berlanjut sampai sekarang. Tak sebatas pemeriksaan restitusi, tapi juga pemeriksaan khusus wajib pajak (WP) grup, WP potensial, tim pemeriksaan gabungan dan tim optimalisasi penerimaan negara. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.