KAMUS PAJAK

Apa Itu Big Data dan Big Data Analytic?

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 28 November 2022 | 18.30 WIB
Apa Itu Big Data dan Big Data Analytic?

PERKEMBANGAN teknologi yang kian pesat mendorong produksi data yang semakin besar dan beragam dari waktu ke waktu. Kumpulan data dalam jumlah yang sangat besar dengan beragam bentuk dan sumber ini biasa dikenal sebagai big data.

Seperti halnya data pada umumnya, big data membutuhkan pengelolaan dan analisis yang disebut sebagai big data analytics (BDA). Pengelolaan dan analisis tersebut diperlukan agar big data dapat memberikan manfaat yang optimal serta dapat membantu proses pengambilan keputusan.

Konsep big data analytics tersebut juga digunakan oleh Ditjen Pajak (DJP) untuk mengembangkan compliance risk management. Lantas, apa yang dimaksud dengan big data dan big data analytic?

Definisi Big Data
ISTILAH big data mengacu pada kumpulan data dalam jumlah besar dan beragam yang tumbuh dengan kecepatan yang terus meningkat (Segal, 2022). Menurut Segal, big data dapat dikategorikan sebagai data terstruktur dan tidak terstruktur.

Data terstruktur terdiri atas informasi yang sudah dikelola oleh organisasi dalam database dan spreadsheet yang kerap bersifat numerik. Sementara itu, data tidak terstruktur adalah informasi yang tidak terorganisir dan belum berbentuk dalam format yang telah ditentukan sebelumnya.

Data tidak terstruktur tersebut di antaranya seperti data dari media sosial. Data dari media sosial itu biasanya dihimpun untuk membantu institusi mengumpulkan informasi tentang kebutuhan pelanggan (Segal, 2022).

Oxford Dictionary mengartikan big data sebagai kumpulan data yang terlalu besar atau terlalu rumit untuk ditangani, dianalisis, atau digunakan dengan metode standar. Big data ini perlu dianalisis secara komputasi untuk mengungkap pola, tren, dan asosiasi, terutama yang berkaitan dengan perilaku dan interaksi manusia.

Sementara itu, menurut Gartner IT Glossary, big data adalah aset informasi bervolume tinggi, berkecepatan tinggi, dan/atau memiliki keberagaman tinggi. Big data menuntut bentuk pemrosesan informasi hemat biaya dan inovatif yang memungkinkan peningkatan wawasan, pengambilan keputusan, dan otomatisasi proses.

Big data memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu volume, velocity, dan variety atau biasa disingkat 3V (Segal, 2022). Adapun volume terkait dengan besaran data yang harus dikelola berukuran super besar.

Selanjutnya, velocity berkenaan dengan kecepatan pemrosesan data yang harus mengimbangi pesatnya pertumbuhan jumlah data. Sementara itu, variety merujuk pada karakteristik sumber data yang sangat beragam.

Dalam publikasi DJP bertajuk CRMBI Langkah Awal Menuju Data Driven Organization (2022) big data memiliki beberapa karakter, yaitu volume (besaran), value (nilai), variety (keberagaman), velocity (kecepatan), dan veracity (akurasi).

Berdasarkan publikasi tersebut, kumpulan data dapat dikatakan sebagai big data apabila memiliki ukuran besar, nilai yang masih rendah, jenis data beragam, serta penambahan data cepat dan akurat.

Data yang berukuran besar tetapi nilai gunanya rendah ini memerlukan suatu proses analitik yang popular dengan istilah big data analytic (BDA).

Definisi Big Data Analytics
BDA adalah upaya meningkatkan value data dengan cara mengolah, mengekstraksi dan menganalisis data menjadi informasi. Informasi tersebut kemudian dapat diolah menjadi insight, informasi yang lebih mendalam, sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan sebuah keputusan ataupun kebijakan organisasi.

BDA memerlukan kemampuan yang memadai dari tiga bidang keahlian, yaitu computer science, statistic dan business expertise. Kombinasi tiga keahlian inilah yang akan menjadi tulang punggung dari data science.

Data science adalah bidang keilmuan yang menggabungkan tiga bidang keahlian di atas dalam proses mengekstrak data menjadi insight yang lebih berarti. Proses ekstrak data tersebut dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, machine learning, algoritma serta deep learning.

Data science kemudian menghasilkan informasi, insight, pola sebuah kejadian, serta memberikan rekomendasi solusi atas suatu permasalahan. Pemanfaatan BDA yang memerlukan data science ini tidak hanya menjadi perhatian sektor swasta, tetapi juga pemerintah Indonesia, termasuk DJP.

Sejarah Perkembangan Big Data Analytics di DJP
SALAH satu tonggak sejarah pengembangan infrastruktur di DJP dalam mengembangkan BDA di bidang pelayanan adalah saat e-filing pada 2015. Pada tahun yang sama, DJP membangun compliance risk management (CRM) dan DJP Search sebagai bagian dari alat-alat BDA.

Pengembangan CRM tersebut menjadi sejarah formal pengembangan big data analytics di DJP. Dalam perkembangannya, DJP membentuk Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) sebagai salah satu bagian dari transformasi kelembagaan DJP pada 2019.

DIP merupakan perwujudan big data analytics di DJP. Adapun DIP terdiri atas tiga Subdirektorat yang memiliki tugas dan fungsi terkait tata kelola dan pengelolaan data, di antaranya Subdirektorat Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dan Sains Data.

Subdirektorat tersebut memiliki tugas dan fungsi pengembangan CRM dan business intelligence. Melalui pengembangan DIP, pengembangan BDA tidak hanya berfokus pada CRM, tetapi juga business intelligence.

DJP terus mengembangkan CRM dan menerapkan BI pada sejumlah aplikasi. Aplikasi berbasis BI tersebut seperti SmartWeb, Ability to Pay dan Dashboard WP Madya, Smartboard. CRM dan BI juga akan terus dikembangkan hingga 2023 mendatang.

Melalui pengembangan tersebut, DJP menargetkan seluruh kebijakan terkait dengan penerimaan, organisasi, sumber daya manusia, dan regulasi sudah berbasis BDA pada 2023. Harapannya, cita-cita DJP menuju data driven organization dapat tercapai.

Guna mewujudkan cita-cita sebagai data driven organization, DJP terus meningkatkan nilai dari setiap pemanfaatan data. DJP juga secara terbuka mempelajari berbagai best practice BDA dalam bidang administrasi perpajakan dari berbagai negara.

Misal, beberapa negara telah mengimplementasikan BDA dalam area audit case selection berupa Structure Income Flows di Amerika Serikat, Tax Agent Risk di Australia, dan VAT Risk di Belanda, Norwegia, dan Irlandia.

DJP sendiri telah mengembangkan BDA antara lain penerapan prescriptive data analytics melalui pengembangan CRM, piloting VAT Fraud Detection pada 2018, serta pengembangan smartweb ability to pay, aplikasi e-filling, e-faktur, e-bupot, dan berbagai aplikasi lainnya.

Intinya, DJP mengembangkan BDA sebagai tools pendukung pelaksanaan tugas dan fungsi perpajakan. BDA juga bertujuan untuk mentransfer tacit knowledge yang dimiliki petugas pajak ke dalam mesin algoritma sehingga mesin algoritma dapat menggantikan analisis yang bersifat rutin.

Implementasi BDA juga penting untuk mendukung pengambilan keputusan manajerial, khususnya Kantor Pusat Ditjen Pajak (KPDJP), serta membantu ranah pengambilan keputusan operasional, baik di kanwil maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP). (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.